TUJUAN HUKUM ISLAM
Adapun tujuan hukum Islam secara
umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan
bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang
bermanfaat, dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna
bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq al-Satibi merumuskan lima tujuan
hokum Islam, yakni
(1)memelihara
(agama),
(2)
jiwa,
(3)
akal,
(4)
keturunan,
(5)
harta yang disebut maqashid al-khamsah.
Kelima
tujuan ini kemudian disepakati oleh para ahli hokum Islam. Agar dapat dipahami
dengan baik dan benar, masing-masing tujuan hokum Islam tersebut dapat
dijelaskan satu per satu :
1.
Memelihara Agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki
oleh setiap manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari
martabat makhluk lain, dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama merupakan kebutuhan
manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia.
Agama Islam harus terpelihara dari ancaman orang-orang yang akan merusak
akidah, syari’ah dan akhlak, atau mencampur adukkan ajaran agama Islam dengan
paham atau aliran yang bathil. Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk
agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam
tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama
Islam. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 256.
2.
Memelihara Jiwa
Menurut hokum Islam, jiwa itu harus dilindungi.
Untuk itu hokum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan
mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya
menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan
oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
3.
Memelihara Akal
Menurut hukum Islam, seseorang wajib
memelihara akalnya, karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup
dan kehidupan manusia. Dengan akal manusia dapat memahami wahyu Allah, baik
yang terdapat dalam kitab suci Al Qur’an maupun wahyu Allah yang terdapat dalam
alam (ayat-ayat kauniyah). Dengan
akalnya, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang
tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa
mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu pemeliharaan akal merupakan
salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam melarang seseorang meminum
minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamar, dan member hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal.
Larangan minum khamar ini dengan
jelas disebutkan dalam QS. 5 (Al-Maidah): 90.
4.
Memelihara
Keturunan
Dalam hokum Islam, memelihara keturunan
adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu dalam hokum Islam untuk
meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang syah menurut
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Qur’an dan al-Sunnah dan dilarang
melakukan perbuatan zina. Hukum kekeluargaan dan hokum kewarisan Islam yang ada
dalam Al Qur’an merupakan hokum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan
dan pemeliharaan keturunan. Dalam Al Qur’an, hokum-hukum yang berkenaan dengan
masalah perkawinan dan kewarisan disebutkan secara tegas dan rinci, seperti
larangan-larangan perkawinan yang terdapat dalam QS. 4 (Al-Nisa’) : 23.
Sedangkan larangan berzina, disebutkan dalam QS. 17 (Al-Isra’) : 32.
5.
Memelihara Harta
Menurut hokum Islam, harta merupakan
pemberian Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya.
Untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (makhluk yang diberi
amanah Allah untuk mengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya)
dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal, artinya
syah menurut hokum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya, hokum Islam
tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak.
Kepemilikan atas suatu benda secara mutlak hanya pada Allah, namun karena
diperlukan adanya kepastian hokum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian
dalam kehidupan bersama, maka hak milik sesorang atas suatu benda diakui dengan
pengertian, bahwa hak milik itu harus diperoleh secara halal dan berfungsi sosial (Anwar Haryono, 1968 : 140).
sangat menarik
BalasHapusMy blog
Perlu diperluas/diperdalam bahasannya
BalasHapus