Selasa, 29 November 2011

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ETIKA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ILMU-ILMU LAIN



1.      Ruang Lingkup Pembahasan Etika

a.       Menyelidiki sejarah etika dan pelbagai teori (aliran) lama dan baru tentang tingkah laku manusia
b.      Membahas tentang cara-cara menghukumkan/ menilai baik dan buruknya sesuatu pekerjaan
c.       Menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia yang meliputi faktor manusia itu sendiri, fitrahnya (nalurinya), adat kebiasaannya, lingkungannya, kehendak dan cita-citanya, suara hatinya, motif yang mendorongnya berbuat dan masalah pendidikan akhlaq.
d.      Menerangkan mana akhlak yang baik (akhlaqul mahmudah) dan mana pula akhlak yang buruk (akhlaqul mazmumah) menurut ajaran Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
e.       Mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh juga meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan, misalnya dengan cara melatih diri untuk mencapai perbaikan bagi kesempurnaan pribadi
f.       Menegaskan arti bagi tujuan hidup yang sebenarnya sehingga dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhi segala kelakuan yang buruk dan tercela.

2.      Hubungan Dengan Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu Ushuluddin, Ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan, sedangkan akhlak yang baik menurut pandangan Islam, haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup sekedar disimpan dalam hati, melaiankan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh atau tingkah laku yang baik. Jika iman melahirkan amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir. Jelaslah bahwa akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh (malu, berbuat kejahatan) adalah salah satu daripada akhlaqul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadits menegaskan : “malu itu adalah cabang daripada keimanan”. Sebaliknya, akhlaq yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun perbuatan pada lahirnya baik,
tetapi titik tolaknya bukan karena iman, maka hal itu tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah.
Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman dengan amal-amal baiknya orang yang tidak beriman. Hubungan antara aqidah dan etika tercermin pada HR. at-Tarmizi, yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. :
            “Orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya”.

3.      Hubungan Dengan Ilmu Hukum
Antara etika dengan hukum terjalin hubungan erat, karena lapangan pembahasan keduanya sama-sama berkisar pada masalah perbuatan manusia. Tujuannya pun sama, yakni mengatur perbuatan manusia demi terwujudnya keserasian, keselarasan, kebahagiaan mereka. Bagaimana seharusnya bertindak, terdapat dalam kaidah-kaidah hukum dan kaidah-kaidah etika.
Bedanya ialah jika hukum memberikan putusan hukumnya perbuatan, maka etika memberikan penilaian baik atau buruknya. Putusan hukum ialah menetapkan boleh tidaknya perbuatan itu dilakukan dengan diiringi sangsi-sangsi apa yang bakal diterima oleh pelaku. Penilaian etika apakah perbuatan itu baik dikerjakan yang bakal mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, dan menilai apakah itu buruk yang bakal mengantarkan seseorang kepada kehinaan dan penderitaan . Selain daripada itu terdapat perbedaan dalam luasnya dalam bidang yang dicakup. Ada masalah yang diperkatakan etika, tetapi tidak dicakup oleh hukum. Yang kita maksudkan disini hukum umum yang bersifat sekuler atau hukum wadl’I yang dibuat oleh manusia. Misalnya etika yang memerintahkan berbuat apa saja yang berguna dan melarang apa saja yang merusak, sedangkan hukum sekuler kadang-kadang tidaklah sejauh itu. Misalnya menyantuni fakir miskin dinilai oleh etika sebagai perbuatan yang baik dan terpuji, namun dalam hukum sekuler tiada hukum yang mengharuskan perbuatan itu dan tiada sangsi manakala hal itu ditinggalkan.
Akan tetapi dalam hukum Islam yang ruang lingkup pembahasannya lebih lengkap dan sempurna dan sama dengan akhlak. Karena semua perbuatan yang dinilai baik dan buruknya oleh akhlak, telah mendapatkan pula kepastian hukum tertentu. Misalnya, menyingkirkan duri dari jalan raya, etika menilainya sebagai kelakuan yang baik, sedangkan dalam hukum wadl’i tiada arti apa-apa, tiada ganjaran apa-apa. Namun dalam hukum Islam dinyatakan sebagai perbuatan yang dihukumkan, mandub (sunat) yakni, kalau dikerjakan mendapatkan pahala dan kalau tidak dilakukan tidaklah berdosa.
Dengan demikian, pertalian antara hukum fiqih Islam dengan etika Islam demikian eratnya dibandingkan dengan hukum sekuler dan etika filsafat. Tiada satupun perbuatan yang dinilai oleh akhlaq, tidak mendapatkan kepastian hukum dalam Islam salah satu dari lima kategori, yaitu : wajib, sunat, mubah, haram dan makruh. Sebaliknya segala perbuatan yang diputuskan hukumnya oleh hukum Islam, etika Islam selalu memberikan penilaian baik dan buruknya. Ini adalah manifestasi dari pada luasnya ruang lingkup hukum Islam yang menghukum segala tingkah laku manusia baik yang lahir

maupun yang tersembunyi, salah satu dari lima kategori tersebut. Demikian juga halnya batas segala perbuatan, baik yang lahir maupun yang tersembunyi.

4.      Hubungan Dengan Psikologi
Psikologi tidak dapat dilepaskan dari etika, karena etika sangat membutuhkannya. Psikologi membahas masalah kekuatan yang terpendam dalam jiwa, perasaan, paham, pengenalan, ingatan, kehendak dan sebagainya yang kesemuanya merupakan faktor-faktor penting dalam etika. Masalah-masalah kejiwaan itulah yang mempengaruhi dan melahirkan akhlak dalam kehidupan manusia.

5.      Hubungan Dengan Ilmu Masyarakat
Ilmu masyarakat (sosiologi) menerangkan prihal proses perkembangan masyarakat yang meliputi faktor-faktor pendorongnya sampai kepada tujuan gerakan-gerakan sosial. Demikian juga tentang factor penghalang dan perihal tumbuhnya suatu masyarakat yang membuat terkebelakang dibandingkan dengan masyarakat lainnya yang telah maju. Oleh karena pembahasan tersebut jelas menyentuh tingkah laku manusia, maka tidak ragu lagi pertaliannya dengan akhlak (etika). Mempelajari sosiologi menolong ilmu akhlak mendapatkan pengertian tingkah laku manusia dalam kehidupannya yang penting untuk menentukan penilaian baik buruknya tingkah laku itu.
6.      Hubungan Dengan Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi :
a.       Metafisika       : penyelidikan di balik alam yang nyata
b.      Kosmologia     : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c.       Logika             : pembahasan tentang cara berfikir cepat dan tepat
d.      Etika                : pembahasan tentang tingkah laku manusia
e.       Theodicea        : pembahasan tentang ke-Tuhanan
f.       Antrofologia   : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang dan akhirnya membentuk rumah tangganya sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika dalam proses pengembangannya, sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.

NILAI DAN NORMA


Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku. Oleh karena itu sistem nilai dapat merupakan standar umum yang diyakini, yang diserap dari pada keadaan objektif maupun diangkat dari keyakinan, sentiment (perasaan umum) maupun identitas yang diberikan atau diwahyukan oleh Allah SWT yang pada giliannya merupakan sentiment (perasaan umum), kejadian umum, identitas umum yang oleh karenanya menjadi syari’at umum.
Sistem nilai adalah merupakan ketentuan umum yang merupakan pendekatan kepada hakekat filosofi dari ketiga hal tersebut diatas (keyakinan, sentiment, dan identitas). Oleh karena itu sistem nilai ada yang bersifat Ilahi dan normative, dan yang bersifat mondial (duniawi) yang dirumuskan sebagai keyakinan, sentiment, maupun identitas dari atau yang dipandang sebagai suatu kenyataan yang berlaku dalam tempat dan waktu tertentu atau dalam alam semesta dan karenanya bersifat deskriptif.
Di dalam suatu budaya atau kultur suatu bangsa, sistem nilai merupakan landasan atau tujuan daripada kegiatan sehari-hari yang menentukan dan mengarahkan bentuk, corak, identitas, kelenturan (fleksibel), perilaku seseorang atau sekelompok orang, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk produk materi seperti benda-benda budaya, maupun bentuk-bentuk yang bersifat non materi, kegiatan-kegiatan kebudayaan dan kesenian, atau pola dan konsep berfikir yang keseluruhannya disebut budaya atau kultur.
Kalau nilai merupakan keyakinan, sentiment atau identitas yang bersifat umum atau strategis, maka penjabarannya dalam bentuk formula, peraturan, atau ketentuan pelaksanaannya disebut norma. Dengan perkataan lain norma adalah merupakan penjabaran dari nilai sesuai dengan sifat tata nilai. Demikian juga tata norma ada yang bersifat standar atau Ilahi dan karenanya normatif dan ada yang bersifat kekinian atau berlaku sekarang dan disebut juga bersifat deskriptif artinya sesuatu norma yang dirumuskan berdasarkan kenyataan yang berlaku.
·         Pengaruhnya terhadap tingkah laku
Sistem nilai dan norma pengaruhnya kepada perilaku sangat tergantung kepada :
1.      Keyakinan yang menyeluruh terhadap sistem nilai dan norma
2.      Daya serap dari pada individu dan masyarakat dalam penggunaan sistem nilai dan norma
3.      Ada atau tidak adanya pengaruh interdependensi dari sistem nilai dan norma yang lain
4.      Kondisi pisiologis seseorang
5.      Kondisi psikologis
6.      Kondisi fisik
7.      Halangan karena tidur


Sebagai contoh :
1. Seseorang mungkin melaksanakan shalat tetapi tidak mengeluarkan zakat, walaupun                      sudah nisab, atau mungkin seseorang puasa tapi tidak shalat dan sebagainya.
2. Kemampuan untuk melaksanakan nilai sistem, menyeluruh atau tidak, benar atau salah, sangat tergantung kepada kecerdasannya, umpamanya melaksanakan makan dan minum yang halal dan baik, bagi orang yang mengerti bukan asal makan saja tetapi diperhitungkan juga mengenai gizinya, tapi bagi orang yang tidak mengerti mungkin asal makan saja.
3. Pelaksanaan nilai agama adakalanya dipengaruhi oleh nilai setempat seperti pemahaman tentang ayat-ayat suci jauh sebagaimana mestinya, umpamanya pengertian Tuhan yang mengurus seluruh alam dipersonipikasikan bahwa Tuhan ada dimana-mana (imanensi) bahkan sampai menganggap Tuhan menyatu dengan dirinya “Ana al-haq”. Atau dalam upacara mendo’a untuk kebaikan sesuatu atau menghindari sesuatu dilakukan demikian rupa sambil membakar kemenyan yang merupakan tata cara kebiasaan Hindu.
4. Seseorang ada kemungkinan untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan yang sesuai dengan system nilai,bukan karena tidak mau melakukan tapi karena kekeliruan atau lupa. Baik lupa yang bersifat sementara maupun sama sekali kehilangan kepercayaannya/ kemampuannya untuk mengingat sesuatu (amnesia) yang disebabkan karena gangguan fisiologis.
5. Karena ada gangguan mental seperti gila sementara dan gila yang tetap dan kurang keyakinan akan dirinya sendiri atau takut, malu dan sebagainya.
6. Karena cacat fisik maka tidak dapat melakukan. Tidak dapat melaksanakan puasa karena sakit, tidak dapat menyempurnakan haji karena cacat, dan sebagainya.
7. Orang yang tidur tidak dituntut untuk melakukan kewajiban shalat sampai ia bangun
Diantara faktor-faktor pelaksanaan ini pada dasarnya merupakan kewajiban yang mutlak kecuali dengan beberapa gangguan ini yang tidak dapat dihindari. Penolakan pelaksanaan preilaku (ibadah) yang disebabkan karena penolakan secara sadar, maka orang tersebut tergolong kepada kafir yang tertutup hatinya dan akan memperoleh siksa yang besar. QS. Al-Baqarah (2) : 7.
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya : Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

MORAL


Perkataan “moral” berasal dari bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral diterjemahkan dengan  arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Dengan demikian jelaslah persamaan etika dan moral, namun ada pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedang moral lebih banyak bersifat praktis.
Menurut pandangan ahli-ahli filsafat, etika memandang perilaku perbuatan manusia secara universal (umum), sedang moral secara local. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Pengarang Abul A’la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam bukunya : “Ethiqal Viewpoin of Islam” dan memberikan garis tegas antara moral sekuler dan moral Islam. Moral sekuler bersumber dari pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar kepada bimbingan dan petunjuk Allah dalam Al Qur’an.
2.      Istilah-istilah Lain
Dalam bahsa Indonesia, selain menerima perkataan akhlaq, etika dan moral yang masing-masing berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Latin, juga dipergunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan perkataan akhlak ialah : susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, adab, perangai, tingkah laku, perilaku dan kelakuan.

ETIKA


Selain istilah “Akhlaq”, juga lazim dipergunakan istilah “Etika”. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti : adat kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat etika merupakan bagian dari padanya. Dimana para ahli memberikan ta’rif dalam reaksi kalimat yang berbeda-beda, antara lain :
1.      Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang di sistimatisir tentang tindakan moral yang betul  (Websters Dict).
2.      Bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, hujjah-hujjahnya dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan (Ensiklopedi Winkler Prins).
3.      Ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi mengenai nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya, karena itu bukan ilmu yang positif tetapi ilmu yang formatif (New American Encyl).
4.      Ilmu tentang moral / prinsip-prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan kelakuan (A.S. Hornby Dict).
Sesuai dengan hal-hal tersebut diatas, maka pengertian Etika menurut “Filsafat” dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran”.
Ada orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat adalah mendapat ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran manusia. Akan tetapi dalam mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.
Sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari agama. Disinilah letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah dan akal fikiran yang lurus. Untuk menghilangkan kesamaran tersebut, maka kiranya perlulah diketahui karakteristik etika Islam yang membedakannya dengan etika filsafat, yaitu sebagai berikut :
a.       Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b.      Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT. (Al Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
c.       Etika Islam bersifat universal, dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
d.      Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal fikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia.
e.       Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlaq yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT menuju keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari fikiran-fikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.

AKHLAK

BEBERAPA PENGERTIAN

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang etika Islam (Ilmu Akhlak), kita perlu pengertiannya terlebih dahulu.
1.      Ilmu Akhlak
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab jama’ dari “Khuluqun” yang menurut loghat diartikan : budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “Khalqun” yang berarti : kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq” yang berarti : pencipta, dan “makhluk” yang berarti : yang diciptakan. Perumusan pengertian “Akhlak” timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dan makhluk dan antara makhluk dan makhluk. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum dalam QS. Al-Qalam (68) : 4, juga dari HR. Ahmad : “ Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”.
Adapun pengertian sepanjang terminologi yang dikemukakan oleh Ulama Akhlak antara lain sebagai berikut :
a.       Ilmu Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan bathin.
b.      Ilmu Akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
c.       Prof.Dr. Ahmad Amin dalam bukunya “Al- Akhlaq” merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut :
“ Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harud diperbuat “.
d.      Menurut Imam Ghazali, di dalam kitabnya “ Ihya Ulumuddin “memberikan pengertian akhlak sebagai berikut :
“ Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Apabila yang tinbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan yan baik, terpuji menurut akal dan syara’ maka disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, apabila yang timbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan yang jelek maka dinamakan akhlak yang buruk “.

e.       Ibnu Maskawaih di dalam kitabnya “Tahdzibul Akhlak wa Tathirul-‘Araq memberikan ta’rif yang tidak berbeda dengan d) di atas, yaitu : “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan, tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
f.       Dr. M. Abdullah Diroz di dalam kitab “Kalimatun fi Nabadi il Akhlaq memberikan pengertian, bahwa : “Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap (kekuatan yang di dorong oleh emosi jiwa, bukan karena tekanan dari luar, serta sudah menjadi kebiasaan), kekuatan dan kehendak yang saling kombinasi sehingga membawa kecenderungan pada penilaian pihak yang benar (sebagai akhlak baik) dan pihak yang jahat/ salah (akhlak jahat/buruk)”.

Rabu, 26 Oktober 2011



KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PENEGAKAN HUKUM

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hokum di Indonesia tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hokum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hokum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hokum Islam. Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  (sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu, perkembangan hokum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah terhadap hokum agama  (hokum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hokum Islam terkemuka di Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hokum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hokum Islam. Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam dalam pinjam meminjam,  jual beli, sewa menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hokum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hokum pada akhir-akhir ini semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hokum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di Indonesia dalam perumusan dan penegakan hokum di Indonesia. Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hokum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah. Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hokum harus ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hokum Islam dengan hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hokum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hokum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hokum Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.


PERBEDAAN PRINSIF ANTARA KONSEP HAM DALAM ISLAM DAN BARAT

Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang Barat dan Islam. Hak Asasi Manusia menurut pemikiran Barat semata-mata bersifat  antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan demikian, manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia ditilik dari sudut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian, Tuhan sangat dpentingkan. Dalam hubungan ini, AK. Brohi menyatakan, berbeda dengan pendekatan Barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan terhadap hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, fikiran, dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris.

Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu. Dalam Islam, melalui firman Allah dinyatakan, Allahlah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Disinilah letak perbedaan Yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola pemikiran Barat dengan hak-hak asasi manusia menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat, yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Barulah setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu. ( Mohammad Daud Ali, 1995 : 304 ).

Dari uraian tersebut, sepintas lalu tampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep Islam, seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hokum-Nya. Namun secara paradox, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajian yang dibebankan oleh hokum agama untuk mematuhi Allah. (A.K. Brohi, 1982 : 204). Oleh karena itu hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata menekankan pada hak asasi manusia saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.

Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban tersebut telah disampaikan kepada umat manusia sejak manusia itu ada. Diutusnya manusia pertama (Adam) ke dunia mengindikasikan bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia. Kemudian ketika umat manusia menjadi lupa akan petunjuk tersebut, Allah mengutus Nabi dan Rasul-Nya untuk mengingatkan mereka akan keberadaanya. Nabi Muhammad SAW diutus bagi umat manusia sebagai Nabi terakhir untuk menyampaikan dan memberikan teladan kehidupan yang sempurna kepada umat manusia seluruh zaman sesuai dengan jalan Allah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukanlah hasil evolusi dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan melalui para Nabi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi umat manusia di atas bumi.

Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada Allah. Tugas manusia untuk mengabdi kepada Allah dengan tegas dinyatakan-Nya dalam QS. 51 (Al-Dzariyat) : 56. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang diciptakan oleh Allah.

Kewajiban yang diperintahkan kepada manusia dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu Huququllah dan Huququl ‘ibad. Huququllah (Hak-hak Allah)adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah , sedangkan huququl ‘ibad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, karena hak-hak Allah bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya. (Syaukat Hussain, 1996 : 54 ).

Aspek khas dalam konsep HAM Islami adalah tidak adanya orang lain yang dapat memaafkan pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seseorang yang harus dipenuhi haknya. Bahkan suatu Negara Islam pun tidak dapat memaafkan pelanggaran hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. Negara terikat harus memberi hukuman kepada pelanggar HAM dan memberi bantuan kepada pihak yang dilanggar HAM nya, kecuali pihak yang dilanggar HAM nya telah memaafkan pelanggar HAM tersebut.

Prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights dilukiskan dalam berbagai ayat. Apabila prinsip-prinsip Human Rights yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights dibandingkan dengan HAM yang terdapat dalam ajaran Islam, maka dalam Al Qur’an dan Al-Sunnah akan dijumpai antara lain, prinsip-prinsip Human Rights sebagai berikut :

a.     Prinsip Martabat Manusia
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa manusia mempunyai kedudukan atau martabat yang tinggi. Kemudian martabat yang dimiliki manusia itu sama sekali tidak ada pada makhluk lain. Martabat yang tinggi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, pada hakikatnya merupakan fitrah yang tidak dipisahkan dari diri manusia (QS. 17 : Al-Isra’ : 33 dan 70, QS. 5 : Al-Maidah : 32, dan lain-lain). Prinsip-prinsip Al Qur’an yang telah menempatkan manusia pada martabat yang tinggi dan mulia dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam Universal Declaration of Human Rights, antara lain terdapat dalam pasal 1 dan pasal 3.

b.     Prinsip Persamaan
Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu kriteria (ukuran) yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yakni ketaqwaannya (QS. 49: Al-Hujurat : 13). Prinsip persamaan ini dalam Universal Declaration of Human Rights terdapat dalam pasal 6  dan pasal 7.

c.      Prinsip Kebebasan Menyatakan Pendapat.
Al Qur’an memerintahkan kepada manusia agar berani menggunakan akal fikiran mereka terutama untuk menyatakan pendapat mereka yang benar. Perintah ini secara khusus ditujukan kepada manusia yang beriman agar berani menyatakan kebenaran. Ajaran Islam sangat menghargai akal fikiran. Oleh karena itu, setiao manusia sesuai dengan martabat dan fitrahnya sebagai makhluk yang berfikir mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya dengan bebas, asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat dipertanggung jawabkan. Hak untuk menyatakan pendapat dengan bebas dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 19.

d.     Prinsip Kebebasan Beragama
Prinsip kebabasan beragama ini dengan jelas disebutkan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 256. Prinsip ini mengandung bahwa manusia sepenuhnya mempunyai kebebasan untuk menganut suatu keyakinan atau akidah agama yang disenanginya. Ayat lain yang berkenaan dengan prinsip kebebasan beragama terdapat dalam QS. 50 (Qaaf) : 45.

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Hal ini sejalan dengan pasal 18 dari Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai kebebasan berfikir, keinsyafan bathin, dan beragama…

e.     Prinsip Hak Atas Jaminan Sosial
Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut anatara lain adalah kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang punya (QS. 51 : 19, QS. 70: 24), kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar diantara orang-orang kaya saja (QS. 104 : 2), jaminan sosial itu harus diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebut dalam Al Qur’an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan sosial (QS. 2: 273, dan QS. 9: 60 ). Dalam Al Qur’an juga disebutkan dengan jelas perintah  bagi umat Islam untuk melaksanakan zakat kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Tujuan zakat itu antara lain adalah untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan pendapatan bagi segenap anggota masyarakat. Apabila jaminan sosial yang ada dalam Al Qur’an diperhatikan, jelas sesuai dengan pasal 22 dari Universal Declaration of Human Rights, yang bunyinya: setiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai hak atas jaminan sosial…….

f.       Prinsip Hak Atas Harta Benda
Dalam hukum Islam, hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi. Sesuai dengan harkat martabat, jaminan dan perlindungan terhadap milik seseorang merupakan kewajiban penguasa. Oleh karena itu, siapapun juga bahkan penguasa sekalipun, tidak diperbolehkan merampas hak milik orang lain, kecuali untuk kepentingan umum, menurut tata cara yang telah ditentukan terlebuh dahulu (Mohammad Daud Ali, 1995 : 316). Hal ini sesuai dengan pasal 17 dari Universal Declaration of Human Rights, yang bunyinya : (1) Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain. (2) Tidak seorang pun hak miliknya boleh dirampas dengan sewenang-wenang

Dalam memperingatu abad ke-15 H, pada tanggal 21 Dzulqa’dah atau tanggal 19 September 1981, para ahli hukum Islam mengemukakan Universal Islamic Declaration of Human Rights yang diangkat dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pernyataan HAM menurut ajaran Islam ini terdiri dari XXIII Bab dan 63 pasal yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Beberapa hal pokok yang disebutkan dalam deklarasi tersebut antara lain adalah : (1) Hak untuk hidup, (2) Hak untuk mendapatkan kebebasan, (3) Hak atas persamaan kedudukan, (4) Hak untuk mendapatkan keadilan, (5) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan,(6) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, (7) Hak untuk mendapatkan perlindungan atas kehormatan dan nama baik, (8) Hak untuk kebebasan berfikir dan berbicara, (9) Hak untuk bebas memilih agama, (10)Hak untuk bebas berkumpul dan berorganisasi, (11) Hak untuk mengatur tata kehidupan ekonomi, (12) Hak atas jaminan sosial, (13) Hak untuk bebas mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, (14) Hak-hak bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga, (15) Hak untuk mendapatkan pendidikan, dan lain sebagainya.