Rabu, 26 Oktober 2011



KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PENEGAKAN HUKUM

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hokum di Indonesia tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hokum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hokum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hokum Islam. Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  (sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu, perkembangan hokum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah terhadap hokum agama  (hokum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hokum Islam terkemuka di Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hokum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hokum Islam. Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam dalam pinjam meminjam,  jual beli, sewa menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hokum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.

Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hokum pada akhir-akhir ini semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hokum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di Indonesia dalam perumusan dan penegakan hokum di Indonesia. Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hokum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah. Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hokum harus ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hokum Islam dengan hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hokum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hokum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hokum Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.


PERBEDAAN PRINSIF ANTARA KONSEP HAM DALAM ISLAM DAN BARAT

Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang Barat dan Islam. Hak Asasi Manusia menurut pemikiran Barat semata-mata bersifat  antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan demikian, manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia ditilik dari sudut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian, Tuhan sangat dpentingkan. Dalam hubungan ini, AK. Brohi menyatakan, berbeda dengan pendekatan Barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan terhadap hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, fikiran, dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris.

Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu. Dalam Islam, melalui firman Allah dinyatakan, Allahlah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Disinilah letak perbedaan Yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola pemikiran Barat dengan hak-hak asasi manusia menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat, yakni pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Barulah setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu. ( Mohammad Daud Ali, 1995 : 304 ).

Dari uraian tersebut, sepintas lalu tampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep Islam, seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hokum-Nya. Namun secara paradox, di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajian yang dibebankan oleh hokum agama untuk mematuhi Allah. (A.K. Brohi, 1982 : 204). Oleh karena itu hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata menekankan pada hak asasi manusia saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.

Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban tersebut telah disampaikan kepada umat manusia sejak manusia itu ada. Diutusnya manusia pertama (Adam) ke dunia mengindikasikan bahwa Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia. Kemudian ketika umat manusia menjadi lupa akan petunjuk tersebut, Allah mengutus Nabi dan Rasul-Nya untuk mengingatkan mereka akan keberadaanya. Nabi Muhammad SAW diutus bagi umat manusia sebagai Nabi terakhir untuk menyampaikan dan memberikan teladan kehidupan yang sempurna kepada umat manusia seluruh zaman sesuai dengan jalan Allah. Hal ini jelas menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukanlah hasil evolusi dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan melalui para Nabi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi umat manusia di atas bumi.

Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada Allah. Tugas manusia untuk mengabdi kepada Allah dengan tegas dinyatakan-Nya dalam QS. 51 (Al-Dzariyat) : 56. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang diciptakan oleh Allah.

Kewajiban yang diperintahkan kepada manusia dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu Huququllah dan Huququl ‘ibad. Huququllah (Hak-hak Allah)adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah , sedangkan huququl ‘ibad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, karena hak-hak Allah bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya. (Syaukat Hussain, 1996 : 54 ).

Aspek khas dalam konsep HAM Islami adalah tidak adanya orang lain yang dapat memaafkan pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seseorang yang harus dipenuhi haknya. Bahkan suatu Negara Islam pun tidak dapat memaafkan pelanggaran hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. Negara terikat harus memberi hukuman kepada pelanggar HAM dan memberi bantuan kepada pihak yang dilanggar HAM nya, kecuali pihak yang dilanggar HAM nya telah memaafkan pelanggar HAM tersebut.

Prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights dilukiskan dalam berbagai ayat. Apabila prinsip-prinsip Human Rights yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights dibandingkan dengan HAM yang terdapat dalam ajaran Islam, maka dalam Al Qur’an dan Al-Sunnah akan dijumpai antara lain, prinsip-prinsip Human Rights sebagai berikut :

a.     Prinsip Martabat Manusia
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa manusia mempunyai kedudukan atau martabat yang tinggi. Kemudian martabat yang dimiliki manusia itu sama sekali tidak ada pada makhluk lain. Martabat yang tinggi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, pada hakikatnya merupakan fitrah yang tidak dipisahkan dari diri manusia (QS. 17 : Al-Isra’ : 33 dan 70, QS. 5 : Al-Maidah : 32, dan lain-lain). Prinsip-prinsip Al Qur’an yang telah menempatkan manusia pada martabat yang tinggi dan mulia dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam Universal Declaration of Human Rights, antara lain terdapat dalam pasal 1 dan pasal 3.

b.     Prinsip Persamaan
Pada dasarnya semua manusia sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu kriteria (ukuran) yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yakni ketaqwaannya (QS. 49: Al-Hujurat : 13). Prinsip persamaan ini dalam Universal Declaration of Human Rights terdapat dalam pasal 6  dan pasal 7.

c.      Prinsip Kebebasan Menyatakan Pendapat.
Al Qur’an memerintahkan kepada manusia agar berani menggunakan akal fikiran mereka terutama untuk menyatakan pendapat mereka yang benar. Perintah ini secara khusus ditujukan kepada manusia yang beriman agar berani menyatakan kebenaran. Ajaran Islam sangat menghargai akal fikiran. Oleh karena itu, setiao manusia sesuai dengan martabat dan fitrahnya sebagai makhluk yang berfikir mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya dengan bebas, asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat dipertanggung jawabkan. Hak untuk menyatakan pendapat dengan bebas dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 19.

d.     Prinsip Kebebasan Beragama
Prinsip kebabasan beragama ini dengan jelas disebutkan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 256. Prinsip ini mengandung bahwa manusia sepenuhnya mempunyai kebebasan untuk menganut suatu keyakinan atau akidah agama yang disenanginya. Ayat lain yang berkenaan dengan prinsip kebebasan beragama terdapat dalam QS. 50 (Qaaf) : 45.

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Hal ini sejalan dengan pasal 18 dari Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai kebebasan berfikir, keinsyafan bathin, dan beragama…

e.     Prinsip Hak Atas Jaminan Sosial
Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut anatara lain adalah kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang punya (QS. 51 : 19, QS. 70: 24), kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar diantara orang-orang kaya saja (QS. 104 : 2), jaminan sosial itu harus diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebut dalam Al Qur’an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan sosial (QS. 2: 273, dan QS. 9: 60 ). Dalam Al Qur’an juga disebutkan dengan jelas perintah  bagi umat Islam untuk melaksanakan zakat kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Tujuan zakat itu antara lain adalah untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan pendapatan bagi segenap anggota masyarakat. Apabila jaminan sosial yang ada dalam Al Qur’an diperhatikan, jelas sesuai dengan pasal 22 dari Universal Declaration of Human Rights, yang bunyinya: setiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai hak atas jaminan sosial…….

f.       Prinsip Hak Atas Harta Benda
Dalam hukum Islam, hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi. Sesuai dengan harkat martabat, jaminan dan perlindungan terhadap milik seseorang merupakan kewajiban penguasa. Oleh karena itu, siapapun juga bahkan penguasa sekalipun, tidak diperbolehkan merampas hak milik orang lain, kecuali untuk kepentingan umum, menurut tata cara yang telah ditentukan terlebuh dahulu (Mohammad Daud Ali, 1995 : 316). Hal ini sesuai dengan pasal 17 dari Universal Declaration of Human Rights, yang bunyinya : (1) Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain. (2) Tidak seorang pun hak miliknya boleh dirampas dengan sewenang-wenang

Dalam memperingatu abad ke-15 H, pada tanggal 21 Dzulqa’dah atau tanggal 19 September 1981, para ahli hukum Islam mengemukakan Universal Islamic Declaration of Human Rights yang diangkat dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pernyataan HAM menurut ajaran Islam ini terdiri dari XXIII Bab dan 63 pasal yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Beberapa hal pokok yang disebutkan dalam deklarasi tersebut antara lain adalah : (1) Hak untuk hidup, (2) Hak untuk mendapatkan kebebasan, (3) Hak atas persamaan kedudukan, (4) Hak untuk mendapatkan keadilan, (5) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan,(6) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, (7) Hak untuk mendapatkan perlindungan atas kehormatan dan nama baik, (8) Hak untuk kebebasan berfikir dan berbicara, (9) Hak untuk bebas memilih agama, (10)Hak untuk bebas berkumpul dan berorganisasi, (11) Hak untuk mengatur tata kehidupan ekonomi, (12) Hak atas jaminan sosial, (13) Hak untuk bebas mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, (14) Hak-hak bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga, (15) Hak untuk mendapatkan pendidikan, dan lain sebagainya.           

KONSEP HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

Sejarah Hak Asasi Manusia
Menurut Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Baharuddin Lopa, kalimat mustahil dapat hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab. Alasan penambahan istilah bertanggung jawab ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat Kodrati). Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat berbuat semaunya, sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. (Baharuddin Lopa, 1996 : 1).

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, secara kodrati dianugrahi hak dasar yang disebut hak asasi , tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadinya, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu hak dasar melekat pada diri tiap manusia.

Dilihat dari segi sejarahnya, umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM di mulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 M di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hokum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hokum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggung jawabannya di muka hokum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hokum lagi, dan mulai bertanggung jawab kepada hokum. Sejak saat itu mulai dipraktikkan ketentuan bahwa jika raja melanggar hokum harus diadili dan harus mempertanggung jawabkan kebijakannya kepada parlemen. Dengan demikian, saat itu mulai dinyatakan bahwa raja terikat pada hokum dan bertanggung jawab pada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada saat itu lebih banyak berada di tangannya. Dengan demikian kekuasaan raja mulai dibatasi dan kondisi ini merupakan embrio bagi lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya sebagai simbol belaka. 
 
Lahirnya Magna Charta diikuti dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada saat itu mulai ada adagium yang berintikan bahwa manusia sama di muka hokum. Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya demokrasi dan negara hokum. Pada prinsipnya, Bill of Rights ini melahirkan persamaan. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau  dan Montesquieu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir pula The French Declaration, dimana hak-hak lebih dirinci, dan kemudian melahirkan The Rule of Low.
Dalam The French Declaration, antara lain disebutkan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yabg semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alas an yang syah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang syah. Di samping itu dinyatakan juga adanya Presumption of Innocence, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian dituduh dan ditahan, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dalam deklarasi ini juga dipertegas adanya Freedom of Expression, Freedom of Religion, the right of property, dan hak-hak dasar lainnya. Semua hak-hak yang ada dalam berbagai instrument HAM tersebut kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan  The Universal Declaration of Human Rights yang disyahkan oleh PBB pada 

FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT



Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hokum Islam, bahwa ruang lingkup hokum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hokum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hokum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :

a.     Fungsi Ibadah

Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

b.     Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Hukum Islam sebagai hokum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum  (Allah) dengan subyek dan obyek hokum (perbuatan mukallaf). Penetap hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hokum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hokum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hokum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hokum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hokum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

c.      Fungsi Zawajir

Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hokum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

d.     Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah

Fungsi hokum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hokum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hokum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hokum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).

SUMBER HUKUM ISLAM


            Menurut QS. 4 (Al-Nisa’) : 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul, dan kehendak Ulil Amri, yakni orang yang mempunyai kekuasaan.
           
            Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut, kini tertulis dalam Al Qur’an, kehendak Rasulullah SAW kini terhimpun dalam kitab-kitab Hadits, kehendak penguasa sekarang termaktub dalam kitab-kitab fiqih. Yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adlah orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad, karena kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) hokum Islam dari dua sumber utamanya, yakni Al Qur’an dan Hadits yang memuat Sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang ditetapkan Allah dalam Al Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad SAW dengan Mu’az bin Jabal, salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi Muhammad SAW mengujinya dengan menanyakan sumber hokum yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang akan dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan itu di jawab oleh Mu’az, bahwa dia akan menggunakan Al Qur’an. Jawaban itu kemudian disusul oleh Nabi Muhammad SAW dengan pertanyaan berikutnya : “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al Qur’an bagaimana?” Mu’az menjawab: Saya akan mencarinya dalam Sunnah Rasulullah SAW. Kemudian Nabi Muhammad SAW bertanya : Kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Rasulullah SAW, bagaimana? Kemudian Mu’az menjawab : Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi Muhammad SAW sangat senang dengan jawaban Mu’az dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan Rasul-Nya. (H.M. Rasjidi, 1980 : 456).  

            Dari hadits yang dikemukakan tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa sumber hokum Islam ada tiga, yaitu : Al Qur’an, Al-Sunnah, dan akal fikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal fikiran ini dalam kepustakaan hokum Islam diistilahkan dengan Al-ra’yu, yakni pendapat orang atau orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan  nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia dalam segala hidup dan kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. Al Qur’an dan Al-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan Al-ra’yu merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan.Sumber Hukum Islam

            Menurut QS. 4 (Al-Nisa’) : 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul, dan kehendak Ulil Amri, yakni orang yang mempunyai kekuasaan.
           
            Kehendak Allah yang berupa ketetapan tersebut, kini tertulis dalam Al Qur’an, kehendak Rasulullah SAW kini terhimpun dalam kitab-kitab Hadits, kehendak penguasa sekarang termaktub dalam kitab-kitab fiqih. Yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adlah orang-orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad, karena kekuasaan berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) hokum Islam dari dua sumber utamanya, yakni Al Qur’an dan Hadits yang memuat Sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang ditetapkan Allah dalam Al Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad SAW dengan Mu’az bin Jabal, salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum Mu’az bin Jabal berangkat ke Yaman, Nabi Muhammad SAW mengujinya dengan menanyakan sumber hokum yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang akan dia hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan itu di jawab oleh Mu’az, bahwa dia akan menggunakan Al Qur’an. Jawaban itu kemudian disusul oleh Nabi Muhammad SAW dengan pertanyaan berikutnya : “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al Qur’an bagaimana?” Mu’az menjawab: Saya akan mencarinya dalam Sunnah Rasulullah SAW. Kemudian Nabi Muhammad SAW bertanya : Kalau engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Rasulullah SAW, bagaimana? Kemudian Mu’az menjawab : Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi Muhammad SAW sangat senang dengan jawaban Mu’az dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan Rasul-Nya. (H.M. Rasjidi, 1980 : 456).  

            Dari hadits yang dikemukakan tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa sumber hokum Islam ada tiga, yaitu : Al Qur’an, Al-Sunnah, dan akal fikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal fikiran ini dalam kepustakaan hokum Islam diistilahkan dengan Al-ra’yu, yakni pendapat orang atau orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan  nilai dan norma pengukur tingkah laku manusia dalam segala hidup dan kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. Al Qur’an dan Al-Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan Al-ra’yu merupakan sumber tambahan atau sumber pengembangan.

TUJUAN HUKUM ISLAM

            Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat, dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq al-Satibi merumuskan lima tujuan hokum Islam, yakni
(1)memelihara (agama),
(2) jiwa,
(3) akal,
(4) keturunan,
(5) harta yang disebut maqashid al-khamsah.
Kelima tujuan ini kemudian disepakati oleh para ahli hokum Islam. Agar dapat dipahami dengan baik dan benar, masing-masing tujuan hokum Islam tersebut dapat dijelaskan satu per satu :

1.     Memelihara Agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia supaya martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk lain, dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentuh nurani manusia. Agama Islam harus terpelihara dari ancaman orang-orang yang akan merusak akidah, syari’ah dan akhlak, atau mencampur adukkan ajaran agama Islam dengan paham atau aliran yang bathil. Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam QS. 2 (Al-Baqarah) : 256.
2.     Memelihara Jiwa
Menurut hokum Islam, jiwa itu harus dilindungi. Untuk itu hokum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
3.     Memelihara Akal
Menurut hukum Islam, seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akal manusia dapat memahami wahyu Allah, baik yang terdapat dalam kitab suci Al Qur’an maupun wahyu Allah yang terdapat dalam alam (ayat-ayat kauniyah). Dengan akalnya, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena itu pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu hukum Islam melarang seseorang meminum minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamar, dan member hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal. Larangan minum khamar ini dengan jelas disebutkan dalam QS. 5 (Al-Maidah): 90.
4.     Memelihara Keturunan
Dalam hokum Islam, memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu dalam hokum Islam untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang syah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Qur’an dan al-Sunnah dan dilarang melakukan perbuatan zina. Hukum kekeluargaan dan hokum kewarisan Islam yang ada dalam Al Qur’an merupakan hokum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan. Dalam Al Qur’an, hokum-hukum yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan disebutkan secara tegas dan rinci, seperti larangan-larangan perkawinan yang terdapat dalam QS. 4 (Al-Nisa’) : 23. Sedangkan larangan berzina, disebutkan dalam QS. 17 (Al-Isra’) : 32.
5.     Memelihara Harta
Menurut hokum Islam, harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (makhluk yang diberi amanah Allah untuk mengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal, artinya syah menurut hokum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya, hokum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak. Kepemilikan atas suatu benda secara mutlak hanya pada Allah, namun karena diperlukan adanya kepastian hokum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik sesorang atas suatu benda diakui dengan pengertian, bahwa hak milik itu harus diperoleh secara halal dan berfungsi  sosial (Anwar Haryono, 1968 : 140). 

RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM

            Hukum Islam baik dalam pengertian syari’at maupun fiqih, di bagi ke dalam dua bagian besar, yaitu bidang Ibadah dan bidang Muamalah .
Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah seperti menjalankan shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah puasa dan haji. Tata cara dan upacara ini tetap, tidak dapat ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian, tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secara asasi            mengenai hokum, susunan, cara, dan tata cara ibadah sendiri. Yang mungkin berubah hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya. Adapaun Muamalah dalam pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia, walaupun ketaatan tersebut terbatas pada yang pokok-pokok saja. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu (Mohammad Daud Ali, 1999: 49).

            Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan publik, seperti  halnya dalam hukum Barat. Hal ini disebabkan karena menurut hokum Islam, pada hukum perdata ada segi-segi public dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Dalam hukum Islam yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja. Menurut H.M. Rasjidi, bagian-bagian hukum Islam adalah : 1. Munakahat, 2. Wirasah, 3. Mu’amalat dalam arti khusus, 4. Jinayat atau ‘uqubqt, 5. Al-ahkam  al-sulthaniyah (khilafah), 6. Siyar, dan 7. Mukhashamat (H.M. Rasjidi, 1980 : 25-26). Sedangkan Fathi Osman mengemukakan sistematika hukum Islam sebagai berikut : 1. Al-ahkam al-ahwal syakhsiyah ( hukum perorangan ), 2. Al-ahkam al-madaniyah (hukum kebendaan), 3. Al-ahkam al-jinayah (hukum pidana), 4. Al-ahkam al-murafa’at (hokum acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha Negara), 5. Al-ahkam al-dusturiyah (hukum tata Negara), 6. Al-ahkam al-dauliyah (hukum Internasional),dan 7. Al-ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah (hukum ekonomi dan keuangan) (Fathi Osman, 1970 : 65-66). Baik yang dikemukakan oleh H.M.Rasjidi maupun yang dikemukakan oleh Fathi Osman, pada prinsipnya tidak ada perbedaan, hanya istilahnya saja yang berbeda.

            Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat yang membedakan hukum public dengan hukum perdata, maka susunan hukum muamalat dalam arti luas, yang termasuk  dalam hukum perdata Islam adalah : (1) Munakahat, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya. (2) Wirasah, yakni yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, dan pembagian harta warisan . Hukum warisan ini juga disebut Faraid. (3) Muamalah dalam arti khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam , perserikatan, dan sebagainya. Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah : (1) Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan Jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah Hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Jarimah Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya. (2) Al-ahkam al- sulthaniyah, yakni hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah , tentara, pajak, dan sebagainya. (3) Siyar, yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain. (4) Mukhashamat, yang mengatur peradilan , kehakiman, dan hukum acara (Mohammad Daud Ali, 1999 : 51-52).
            Dalam hal-hal yang sudah dikemukakan , jelas bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fuqaha’ ( para yuris Islam )di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, bunga bank, euthanasia, dan lain sebagainya serta berbagai aspek kehidupan lainnya yang dapat dikatagorikan sebagai hukum Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga, yakni Al-ra’yu dengan menggunakan ijtihad.            

KONSEPSI HUKUM ISLAM


Pengertian Hukum Islam
           
            Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa  kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum barat. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat ini adalah hukum yang disengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Adapun konsepsi hukum Islam, dasar kerangkanya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.

            Perkataan hukum yang dipergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata hukum dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah, yakni ukuran, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut diatas dengan hukum dalam pengertian norma dalam bahasa Arab itu memang erat sekali. Setiap peraturan, apapun macam dan sumbernya, mengandung norma atau kaidah sebagai intinya. Dalam ilmu hukum Islam, kaidah itu disebut hukum. Itulah sebabnya, maka di dalam perkataan sehari-hari orang berbicara tentang hukum suatu benda atau perbuatan. Yang dimaksud, seperti telah disebut diatas, adalah patokan, tolak ukur, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu (Mohammad Daud Ali, 1999: 39).


Hukum Islam Merupakan Bagian Dari Agama Islam   
  
Sebagai sistem hukum, hokum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum yang lain yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu saat di suatu masa. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu masa, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau perbuatan manusia belaka.
Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah tersebut adalah syari’at Islam, fikih Islam, dan hukum Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari’at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fiqih Islam diterjemahkan dengan Islamic Juresprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk sya’riat Islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktik, sering kali ke dua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan . Syari’at merupakan landasan fiqih, dan fiqih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu orang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fiqih Islam. Pada prinsipnya, syari’at adalah wahyu Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang terdapat dalam kitab-kitab hadits. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fiqih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam Islam. Sedangkan yang dimaksud fiqih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at yang sekarang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Oleh karena itu fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. Karena fiqih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain. Hal ini terlihat dalam aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab. Oleh karena itu fiqih menunjukkan adanya keragaman dalam hukum Islam (M. Daud Ali, 1999 : 45-46 )
Fiqih berisi rincian dari syari’ah. Karena itu ia dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap syari’ah. Elaborasi yang dimaksudkan disini merupakan suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal fikiran atau al-ra’yu. Yang dimaksud ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam fiqih, seseorang akan menemukan pemikiran-pemikiran para fuqaha’, antara lain para pendiri empat mazhab yang ada dalam ilmu fiqih, yang sampai sekarang masih berpengaruh di kalangan umat Islam sedunia, yaitu Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), Malik bin Annas (pendiri mazhab Maliki), Muhammad Idris asy-Syafi’I (pendiri mazhab Syafi’i), dan Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab Hanbali). Para yuris Islam tersebut sangat berjasa dalam pengembangan hukum Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka yang sangat mengagumkan. J. Schacht memuji pemikiran mereka sebagai suatu epitome (contoh terbaik) dalam pemikiran Islam, karena bidang-bidang lain dalam pemikiran Islam, seperti bidang akidah (teologi) maupun bidang tasawuf, belum mencapai tingkat pemikiran yang sebagus fifih (J. Schacht 1964: 1).
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi Ketuhanan (Ilahi). Di samping sifat bidimensional yang dimilki, hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat bidimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum Islam. Sifat kedua ialah adil. Ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat bidimensional. Dalam hukum Islam, keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari’at ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Karena itu sebagai sifat ketiga dalam hukum Islam adalah individualistic dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transendental, yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini, hukum Islam memiliki validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. Dalam sistem hukum lainnya, sifat ini juga ada, hanya saja nilai-nilai transendental sudah tidak ada lagi. Tiga sifat hokum Islam yang asli itu juga mempunyai hubungan yang erat dengan dua sifat yang lain, yakni komprehensif dan dinamis (Mohammad Tahir Azhary, 1992: 48-49).

Rabu, 12 Oktober 2011


DEMOKRASI DALAM ISLAM

Demokrasi artinya pemerintahan rakyat, maksudnya adalah perwakilan rakyat yang mendampingi Presiden, Raja atau Perdana Menteri memerintah negara. Dan perwakilan rakyat itu di pilih bila lima tahun atau empat tahun sekali, dipilih dengan syarat-syarat yang menggambarkan bahwa selain mereka memang mewakili para pemilihnya (rakyat yang menjadi warga Negara), juga merupakan orang yang cukup berilmu untuk turut memerintah Negara. Bersama-sama dengan presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Menteri, merekalah yang dimaksud para ulil amri seperti disebut di dalam Al Qur’an surat 4 ayat 59 itu. Dengan demikian, mereka itu wajib dipenuhi amarnya (dalam hal ini undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dijalankan oleh Presiden, Dewan Menteri dan Mahkamah Agung). (Hasbullah Bakry, pedoman Islam di Indonesia, 1988 : 325).
Esensi demokrasi, terlepas dari definisi dan istilah akademis, ialah masyarakat memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pemimpinnya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak mereka kehendaki, mereka berhak meminta pertanggung jawaban penguasa apabila pemimpin tersebut salah, dan berhak memecatnya bila menyeleweng. Mereka juga tidak boleh dibawa kepada arah dan sistem ekonomi, sosial, kebudayaan atau sistm politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Demikianlah esensi demokrasi yang sebenarnya dengan berbagai macam bentuk dan system yang dipraktikkan manusia, seperti pemilihan umum dan referendum, penetapan sesuatu berdasarkan suara terbanyak, berbilangnya partai politik, dijaminnya hak golongan minoritas untuk menyampaikan suaranya, kebebasan pers, kemandirian peradilan , penegakan hukum dan sebagainya. (Yusuf Qardhawi, 1996: 918).
Demokrasi dalam proses perorangan di masyarakat, yang terjadi hanya karena kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya teknis dan individual, tidak bisa dijadikan tolak ukur, walaupun dia sendiri kerja demokratis dan bersikap serta bersifat demokratis. Tolok ukur yang digunakan haruslah, apakah Negara menjamin dan melaksanakan pemberian jaminan-jaminan dasar atau hak asasi manusia. Dalam hal ini, Islam mengenal beberapa jaminan dasar, antara lain: (1) jaminan akan keselamatan fisik seseorang, jadi tidak boleh dikenakan sanksi badani, tanpa ada prosedur hukum yang jelas, atau proses pengadilan , (2)jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama (fi salamatil aqidah), (3) jaminan dasar yang menyangkut jaminan dasar keutuhan rumah tangga. Sebab kalau tanpa jaminan dasar, maka dengan mudah rumah tangga itu akan hancur dari dalam atau dihancurkan dari luar. (M. Masyhur Amin dan Mohammad Nadjib, 1993: 97).
Sepanjang sejarah kerajaan Islam , posisi ulil amri ini selalu tidak sama, sesuai dengan situasi dan kondisi para ulil amri itu. Suatu ketika khalifah, sultan atau raja terlalu kuat sehingga praktis yang ada bukan ulil amri  (plural) tetapi seorang waliyul amri yang dictator. Tetapi suatu ketika Waliyul Amri itu begitu lemahnya sehingga selalu timbul semacam perebutan kekuasaan diantara para ulil amri  itu untuk bergiliran ingin menjadi waliyul amri yang dictator itu. Tentu saja Negara (kerajaan) menjadi sangat lemah karena kondisi tersebut. Contoh situasi seperti itu ialah di masa terakhir kekhilafahan Bani Abbas sebelum dihancurkan oleh Hulagu Khan di Medio Abad XIII (1258 M). Adapun contoh situasi seorang waliyul amri yang sangat berkuasa itu ialah di masa puncak kejayaan Khalifah Bani Usman (Ottoman Empire) yang berpusat di Istambul dan dilambangkan oleh dua khalifahnya yang sangat disegani di Eropa, yaitu Sultan Muhammad al-Fatih yang memrintah tahun 1451 hingga 1481 M dan Sultan Sulaiman Agung yang memerintah Turki selama 46 tahun (1520 -1566 M).
Ketika despotisme (bersikap berkuasa sendiri) dijalankan berdasarkan sistem monarkhi di dunia, para penguasa Turki dan dunia Islam masih memperhatikan demokrasi yang diwakili oleh para ulama yang diketuai Syikul Islam atau Mufti Basar atau Penghulu Besar Kerajaan untuk diminta nasehatnya, apakah kebijaksanaan (policy) raja (sultan) sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Apabila para ulama yang diwakili syaikul Islam (Mufti Basar) itu ternyata menyalahgunakan kedudukannya untuk menjilat raja, maka merekalah yang salah, sehungga ketika Eropa dilanda demokratisasi parlementer dan menumbangkan despotism raja, maka di dunia Islam gerakan demokratisasi itu juga menghapus peranan Syaikul Islam dan Mufti Besar serta dewan ulamanya semua. Di ujung nasib, khalifah Bani Usman (Ottoman Empire) Kemal Attaturk memproklamirkan Republik Turki dan membentuk parlemennya yang pertama yaitu Grand National Assembly tahun 1923. Begitu juga Mesir, setelah merdeka dari Turki dan pemerintahan Inggris pada tahun 1922, membentuk parlemen hasil pemilihan umum yang dimenangkan kaum Nasionalis Wafd.
Demokrasi juga dimulai pada pemerintahan kerajaan Iran terutama setelah kerajaan dikuasai oleh Syah Reza yang memerintah sejak 1925 hingga 1941. Walaupun demokrasi belum bebas benar pada mejelis, namun segala kebijaksanaan Syah menghapus tradisi (dengan nama) Islam selalu melalui persetujuan majelis, seperti menghapuskan bantuan wakaf dan infak yang tidak pada tempatnya pada kaum Derwi, menghapuskan burdah bagi wanita, dan memodernkan administrasi Negara.
Pada periode berikutnya di Indonesia, setelah Republik Indonesia diproklamasikan oleh para founding father kita (17 Agustus 1945) segera pula disusul dengan Lembaga Parlemen yang disebut Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), Indonesia berusaha menunjukkan pada dunia, bahwa Negara REpublik Indonesia akan memerintah secara demokratis. Kemudian disusul oleh Pemilihan Umum pada tahun 1955, 1971,1982,dan seterusnya, semuanya menunjukkan bahwa Negara Indonesia akan diperintah secara demokratis. Persoalannya sekarang apakah semua yang terjadi di Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini salah satu atau bertentangan dengan Islam atau tidak. Jawabannya tidak, karena ada dalil yang kuat, yaitu nash Al Qur’an dalam QS. 4 (al-Nisa’): 59.
Umat Islam mempunyai kebebasan untuk memilih mana cara yang terbaik bagi situasi dan kondisi mereka untuk memerintah Negara mereka. Bukan saja mereka bebas memilih siapa diantara pemimpin mereka untuk dianggap sebagai ulil amri mereka, juga mereka bebas menentukan berapa tahun sekali mereka mengadakan pemilihan umum untuk memilih ulil amri itu. Dengan demikian, apa yang telah dilaksanakan oleh Republik Indonesia selama kemerdekaannya dapat dibenarkan oleh ajaran Islam. Begitu juga apabila suatu waktu cara pemilihan umum itu diubah demi seleksi pemimpin yang lebih baik, misalnya pemilihan umum melalui distrik atau langsung, seperti yang sekarang dilaksanakan di semua Negara bekas jajahan Inggris, ajaran Islam tidak perlu dianggap penentangnya. Sekarang para sarjana kita belum terlalu banyak hingga syarat menjadi anggota parlemen cukup sekolah menengah. Apabila jumlah sarjana sudah amat banyak, bisa saja suatu ketika untuk dicalonkan menjadi anggota parlemen disyaratkan seorang sarjana. Perwakilan rakyat pada pemerintahan pusat itu berlaku juga untuk pemerintahan daerah. Seorang Gubernur hendaknya didampingi oleh sebuah perwakilan rakyat daerah tingkat satu dan seorang Bupati hendaknya didampingi oleh sebuah perwakilan rakyat daerah tingkat dua, dan majelis perwakilan itu disebut dewan atau majelis.
Suatu hal yang selalu dibicarakan dalam fiqih Islam selama ini ialah soal cara pemilihan kepala Negara dan syarat-syarat untuk di pilih menjadi kepala Negara menurut tradisi Islam. Ada banyak teori tentang pemilihan kepala Negara itu. Kepala Negara itu sendiri sebutannya ada bermacam-macam, misalnya Khalifah, Imam, Amir, Sultan dan Syah atau Syahinsyah. Al-Farabi dalam bukunya “Aarau Ahlil Madinatul Fadilah” menyebutkan, seseorang yang akan dipilih menjadi kepala Negara itu hendaklah orang terbaik dari rakyat semua. Banyak dari ulama Islam menyebutkan, syaratnya menurut hadits Nabi yang nilainya tidak kuat, bahwa calon kepala Negara hendaklah keturunan Quraisy, sedang menurut para ulama Syi’ah kepala Negara (imam) iu haruslah seorang keturunan Nabi (kaum ‘Alawi). Sebagian kitab fiqih tidak mensyaratkan keturunan, tetapi mensyaratkan kecakapan, kemampuan dan akhlak, serta integritas kepala Negara itu. Diantara syarat-syarat yang disebutkan adalah  sebagai berikut : (1) mengetahui hukum-hukum Allah (maksudnya al-faqih), (2) sudah diketahui bahwa I a bersifat adil dn jujur dalam pekerjaannya selama ini, (3) kifayah dalam arti bertanggung jawab atas tugasnya (maksudnya bukan santai saja tanpa kesungguhan), (4) Sehat, sejahtera panca indranya, tidak buta dan tuli dan tidak pula kaku lidahnya dan kurang akalnya. (Hasbullah Bakry, 1988: 331).
Islam telah menetapkan syura (permusyawaratan) sebagai salah satu kaidah dari kaidah-kaidah kehidupan, dan mewajibkan umat untuk memberikan kesetiaan, sehingga Islam sebagai agama, menjadikan kesetiaan secara keseluruhan, diantaranya adalah kesetiaan kepada para imam kaum muslim, yakni pemimpin dan pemerintah mereka. Islam juga menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai kewajiban yang tetap, bahkan menetapkan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan perkataan yang benar kepada penguasa yang zalim, artinya Islam menetapkan bahwa memerangi kesewenang-wenangan dan kerusakn di dalam tubuh pemerintahan Islam sendiri lebih utama di sisi Allah dari pada memerangi musuh dari luar. Sebab kesewenang-wenangan (otoriter) dan kerusakan dari dalam merupakan penyebab munculnya serangan musuh dari luar.
Pemimpin atau penguasa menurut pandangan Islam merupakan wakil umat atau pelayan umat, maka diantara hak yang mendasar bagi umat ialah mengoreksi sang wakil dan melepas atau menarik wewenang perwakilannya jika mereka menghendaki. Lebih-lebih jika penguasa menyelewengkan wewenangnya dan mengabaikan kewajibannya. Penguasa atau hakim menurut pandangan Islam bukanlah manusia yang maksum (luput dari kesalahan dan dosa), tetapi ia adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah, bisa berbuat adil dan bisa berbuat zalim. Maka diantara kewajiban masyarakat Islam ialah membetulkannya jika salah dan keliru.
Hal yang perlu dicatat, bahwa Islam telah mendahului faham demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi penopang esensi dan substansi demokrasi. Namun demikian, Islam menyerahkan perincian dan penjabarannya kepada ijtihad kaum muslim sesuai prinsip-prinsip ad-Din dan kemaslahatan dunia mereka, sesuai perkembangan kehidupan mereka, sesuai masa dan tempatnya, serta sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi manusia. Keistimewaan demokrasi ialah bahwa sistem ini di celah-celah perjuangannya yang panjang menghadapi para penguasa, raja, dan pemerintahan yang zalim, dapat mengambil berbagai bentuk dan wasilah yang hingga kini dianggap paling efektif untuk melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Selain itu, tidak ada halangan bagi para pemikir dan pemimpin untuk memikirkan bentuk dan system yang memiliki corak dan model yang lebih pas serta lebih ideal. Namun harus tetap di ingat, bahwa untuk merealisasikan hal itu dalam kehidupan manusia, kita harus mempertahankan sebagian system demokrasi yang tidak dapat diabaikan guna mewujudkan keadilan, musyawarah, menghormati hak-hak manusia,dan berjuang menghadapi  kesewenang-wenangan para diktator yang sombong di muka bumi. (Yusuf Qardhawi, 1996: 926).
Tidak ada larangan dalam syara’ untuk mengutip ide tau teori dan praktik dari kalangan non muslim, karena Nabi Muhammad SAW sendiri pada waktu perang Ahzab telah mengambil gagasan “Menggali Parit” dalam sebuah peperangan, sebagai suatu uslub , cara teknik yang biasa dipakai orang Persia. Beliau juga memanfaatkan tawanan-tawanan musyrikin dalam perang Badar “ yang mengerti baca tulis” untuk mengajar tulis menulis kepada anak-anak kaum muslim. Meskipun mereka musyrik, karena hikmah (ilmu pengetahuan) itu adalah milik orang mukmin yang hilang, maka dimana saja dia mendapatinya dia lebih berhak terhadapnya. Dengan kata lain, mengutip ide, pendapat, sistem, dan peraturan-peraturan dari orang lain yang bermanfaat bagi kita, asalkan tidak bertentangan dengan nash yang tegas dan kaidah syari’ah yang baku, disamping itu kita juga harus bersikap kritis dan selektif terhadap yang kita ambil dengan semangat ruh kita, mana yang merupakan bagian dari kita yang telah hilang sejak lama tersebut, dibenarkan untuk di ambil kembali.

PERINSIP DASAR POLITIK DALAM ISLAM

Al Qur’an menegaskan bahwa, kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan sekali-kali diragukan, sebagaimana disebutkan dalam QS. 2 : 147. Ditegaskan pula dalam QS. 3: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan engkau termasuk mereka yang meragukannya. Juga terdapat penegasan bahwa kebenaran dating dari Allah SWT, manusia bebas menentukan pilihannya, menerima kebenaran itu atau menolaknya, sebagaimana firman Allah dalam QS. 18 (al-Kahfi) : 29. Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita mengambil prinsip-prinsip dasar berdasarkan Al Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber referensi dan rujukan dalam berbagai hal  termasuk dalam urusan politik.
Al Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dan diimplentasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah:
1.     Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tercantum dalam QS. 23 (al-Mukminun): 52. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa Al Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan. Hal ini dipertegas lagi dalam QS. 21 (al-Anbiya’): 92.

Perlu digaris bawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakekatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu’) ajarannya. Dengan kata lain, Al Qur’an sebagai kitab suci pedoman bagi manusia mengakui kebinekaan dalam ketungalan.
2.     Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah. Dalam QS. 42 (al-Syura) : 38 dijelaskan, dan dalam QS. 3 (Ali Imran) : 159.
Ayat diatas dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar memusyawarahkana persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Ayat ini juga sekaligus sebagai petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya karena Rasulullah Muhammad SAW, bagi kita umat muslim adalah suri teladan dalam hidup dan kehidupan. Dengan kata lain kata al-amr (urusan) tercakup urusan ekonomi, pendidikan, social, politik, budaya, hukum,dan lain sebagainya. 
3.     Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. Dijelaskan dalam QS. 4 (al-Nisa’) : 58. Al Qur’an terutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitab hukum. Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya dalam Al Qur’an. Tentu saja Al Qur’an menyediakan landasan, prinsip-prinsip bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan serta penetapan hukum, yang harus diikuti oleh umat Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi arah, dan rakyat iru sendirilah, lewat musyawarah dan lainnya, yang menyusun hukum-hukum Negara itu termasuk prinsip-prinsip dalam menunaikan amanat dan menetapkan hukum sehingga tetap berpedoman pada Al Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi umat Islam
4.     Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) sebagaimana difirmankan dalam QS. 4 (al-Nisa’): 59. Perlu dicermati bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata “taat” kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada Ulil Amri. Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal Hadits Rasulullah SAW yang sangat populer yaitu : Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seseorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khalik (Allah). Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulil amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah. Dalam sebuah hadits disebutkan “Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang direintahkan ulil amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat”. (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).
5.     Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam, sebagaimana difirmankan dalam QS. 49 (al-Hujarat): 9.
6.     Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan invasi. Dijelaskan dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 90.
7.     Kemestian mementingkan perdamaian dari pada pernusuhan. Dalam QS. 8 (al-Anfal): 61.
8.     Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan, sebagaimana firman Allah dalam QS. 8 (al-Anfal): 60.
9.     Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 16 (al-Nahl): 91.
10.            Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 49 (al-Hujarat): 13.
11.            Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS. 59 (al-Hasyr): 7
Bahkan Al Qur’an sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari kampong halaman mereka, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam QS. 60 (al-Mumtahanah): 8.
12.            Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum. Dalam Al Qur’an ditemukan banyak ayat yang berkaitan atau berbicara tentang hokum. Dalam Al Qur’an secara tegas dinyatakan, bahwa hak pembuat hokum itu hanyalah milik Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 6 (al-An,am): 57.
Setiap muslim dalam pelaksanaan hukum Islam mesti mengikuti prinsip-prinsip : (a) menyedikitkan beban (taqlil al-takalif), (b) berangsur-angsur (al-Tadarruf), dan (c) tidak menyulitkan (‘adam al-haraj).
Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar sistem politik Islam berdasarkan Al Qur’an. Tentu saja masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain, sehingga terlihat jelas kesesuaian dan konsistensi  nilai-nilai dasar dalam Al Qur’an tentagn garis besar dalam urusan politik Islam.