Selasa, 11 Oktober 2011


HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM
1. Konsepsi Hukum Islam Pengertian Hukum Islam 
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum barat. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat ini adalah hukum yang disengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Adapun konsepsi hukum Islam, dasar kerangkanya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya. Perkataan hukum yang dipergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata hukum dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah, yakni ukuran, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut diatas dengan hukum dalam pengertian norma dalam bahasa Arab itu memang erat sekali. Setiap peraturan, apapun macam dan sumbernya, mengandung norma atau kaidah sebagai intinya. Dalam ilmu hukum Islam, kaidah itu disebut hukum. Itulah sebabnya, maka di dalam perkataan sehari-hari orang berbicara tentang hukum suatu benda atau perbuatan. Yang dimaksud, seperti telah disebut diatas, adalah patokan, tolak ukur, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu (Mohammad Daud Ali, 1999: 39). Hukum Islam Merupakan Bagian Dari Agama Islam Sebagai sistem hukum, hokum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum yang lain yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu saat di suatu masa. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu masa, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau perbuatan manusia belaka. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah tersebut adalah syari’at Islam, fikih Islam, dan hukum Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syari’at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fiqih Islam diterjemahkan dengan Islamic Juresprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk sya’riat Islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktik, sering kali ke dua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan . Syari’at merupakan landasan fiqih, dan fiqih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu orang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fiqih Islam. Pada prinsipnya, syari’at adalah wahyu Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang terdapat dalam kitab-kitab hadits. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fiqih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam Islam. Sedangkan yang dimaksud fiqih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at yang sekarang terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Oleh karena itu fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. Karena fiqih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat lain. Hal ini terlihat dalam aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mazhab-mazhab. Oleh karena itu fiqih menunjukkan adanya keragaman dalam hukum Islam (M. Daud Ali, 1999 : 45-46 ) Fiqih berisi rincian dari syari’ah. Karena itu ia dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap syari’ah. Elaborasi yang dimaksudkan disini merupakan suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal fikiran atau al-ra’yu. Yang dimaksud ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam fiqih, seseorang akan menemukan pemikiran-pemikiran para fuqaha’, antara lain para pendiri empat mazhab yang ada dalam ilmu fiqih, yang sampai sekarang masih berpengaruh di kalangan umat Islam sedunia, yaitu Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), Malik bin Annas (pendiri mazhab Maliki), Muhammad Idris asy-Syafi’I (pendiri mazhab Syafi’i), dan Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab Hanbali). Para yuris Islam tersebut sangat berjasa dalam pengembangan hukum Islam melalui pemikiran-pemikiran mereka yang sangat mengagumkan. J. Schacht memuji pemikiran mereka sebagai suatu epitome (contoh terbaik) dalam pemikiran Islam, karena bidang-bidang lain dalam pemikiran Islam, seperti bidang akidah (teologi) maupun bidang tasawuf, belum mencapai tingkat pemikiran yang sebagus fifih (J. Schacht 1964: 1). Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi Ketuhanan (Ilahi). Di samping sifat bidimensional yang dimilki, hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat bidimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum Islam. Sifat kedua ialah adil. Ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat bidimensional. Dalam hukum Islam, keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari’at ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Karena itu sebagai sifat ketiga dalam hukum Islam adalah individualistic dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transendental, yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini, hukum Islam memiliki validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. Dalam sistem hukum lainnya, sifat ini juga ada, hanya saja nilai-nilai transendental sudah tidak ada lagi. Tiga sifat hokum Islam yang asli itu juga mempunyai hubungan yang erat dengan dua sifat yang lain, yakni komprehensif dan dinamis (Mohammad Tahir Azhary, 1992: 48-49).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar