PENGERTIAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM
Kata sistem berasal
dari bahasa asing (Inggris), yaitu system,
artinya perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan, sehingga
membentuk suatu totalitas atau susunan yang teratur dengan pandangan, teori,
dan asas. Sedangkan kata politik pada mulanya berasal dari Bahasa Yunani atau
Latin, Politicos atau politicus, yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal
dari kata polis, yang berarti kota.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai “ segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan”. Sedangkan kata Islam, adalah agama yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci Al Qur’an yang
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan demikian, sistem politik
islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai
Islam.
Islam memang memberikan
landasan kehidupan umat manusia secara lengkap, termasuk di dalamnya kehidupan
politik. Tetapi Islam tidak menentukan secara konkrit bentuk kekuasaan politik
seperti apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah sebabnya, kemudian terjadi
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam merumuskan sistem politik
Islam.
Kehidupan Rasulullah
Muhammad SAW menunjukkan, bahwa beliau memegang kekuasaan politik di samping
kekuasaan agama. Ketika beliau dengan para sahabat hijrah ke Madinah, kegiatan
dan aktivitas yang beliau lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan
sistem kehidupan yang stabil dan harmonis serta kondusif adalah mempersatukan
seluruh penduduk Madinah dalam satu sistem sosial politik di bawah kekuasaan
beliau, yang dikenal dengan Perjanjian Madinah. Rasulullah tidak memaksa kaum
Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama Islam, tetapi
beliau menginginkan semua penduduk
Madinah menghormati perjanjian yang mereka sepakati.
Setelah Rasulullah
memiliki kekuasaan secara politik di Madinah, beliau juga menjamin kesepakatan
dengan penguasa Mekah agar tidak terjadi perselisihan diantara kedua kekuasaan
tersebut, sekalipun dalam perkembangan selanjutnya penguasa Mekah mengingkari
perjanjian yang ia tandatangani, sehingga memicu peperangan yang cukup hebat
dan dahsyat, seperti perang Badar, perang Uhud, dan lain-lain.
Dalam kamus bahasa Arab
modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan,
mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau
rusak, sementara dalam Al Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar
kata sasa-yasusu, namun ini bukan
berarti bahwa Al Qur’an tidak menguraikan masalah sosial politik.
Banyak ulama ahli AL
Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al
Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328)
menamai salah satu karya ilmiahnya dengan al-Siyasah
al-Syar’iyah (politik keagamaan). Uraian Al Qur’an tentang politik secara
sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum. Kata
ini pada mulanya berarti “ menghalangi atau melarang dalam rangka aperbaikan”.
Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti
kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasah, yang berarti mengemudi, mengendalikan,
pengendali dan cara pengendalian (M.
Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan
umat, 1997: 417).
Kata siyasah, sebagaimana dikemukakan diatas,
diartikan dengan politik, dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain, terdapat persamaan makna antara kata hikmah dan
politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaan, atau
kemampuan menangani suatu masalah, sehingga mendatangkan manfaat atau
menghindarkan mudharat. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah suatu
konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber
kekuasaan Negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana
cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu
diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan
bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai
dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar