Rabu, 12 Oktober 2011


PENGERTIAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM

Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu system, artinya perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas atau susunan yang teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan kata politik pada mulanya berasal dari Bahasa Yunani atau Latin, Politicos atau politicus, yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis, yang berarti kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai “ segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan”.  Sedangkan kata Islam, adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci Al Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan demikian, sistem politik islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam.
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia secara lengkap, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam tidak menentukan secara konkrit bentuk kekuasaan politik seperti apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah sebabnya, kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam merumuskan sistem politik Islam.
Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan, bahwa beliau memegang kekuasaan politik di samping kekuasaan agama. Ketika beliau dengan para sahabat hijrah ke Madinah, kegiatan dan aktivitas yang beliau lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan sistem kehidupan yang stabil dan harmonis serta kondusif adalah mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam satu sistem sosial politik di bawah kekuasaan beliau, yang dikenal dengan Perjanjian Madinah. Rasulullah tidak memaksa kaum Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama Islam, tetapi beliau menginginkan  semua penduduk Madinah menghormati perjanjian yang mereka sepakati.
Setelah Rasulullah memiliki kekuasaan secara politik di Madinah, beliau juga menjamin kesepakatan dengan penguasa Mekah agar tidak terjadi perselisihan diantara kedua kekuasaan tersebut, sekalipun dalam perkembangan selanjutnya penguasa Mekah mengingkari perjanjian yang ia tandatangani, sehingga memicu peperangan yang cukup hebat dan dahsyat, seperti perang Badar, perang Uhud, dan lain-lain.
Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama, ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak, sementara dalam Al Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al Qur’an tidak menguraikan masalah sosial politik.
Banyak ulama ahli AL Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan al-Siyasah al-Syar’iyah (politik keagamaan). Uraian Al Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum. Kata ini pada mulanya berarti “ menghalangi atau melarang dalam rangka aperbaikan”. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasah, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian (M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan umat, 1997: 417).
Kata siyasah, sebagaimana dikemukakan diatas, diartikan dengan politik, dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain, terdapat  persamaan makna antara kata hikmah dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani suatu masalah, sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudharat. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar