Rabu, 12 Oktober 2011


KEDUDUKAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM

Sampai saat ini, umat Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam syari’at Islam, paling tidak dalam hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Dalam hal ini ada tiga aliran / pendapat, yaitu :
1.     Pendapat pertama yang berpendirian, bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Para penganut pendapat ini pada umumnya berpendapat bahwa (1) Islam adalah agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam  hendaknya kembali kepada system ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu mengetahui , bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat, (2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al-Khulafa ‘al-Rasyidin. Tokoh-tokoh utama dari pendapat ini antaralain Syeikh Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vocal dan agresif adalah Maulana Abul A’la al-Maududi.
2.     Pendapat kedua yang berpendirian, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut pendapat ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang Rasul biasa, seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, akhlakul karimah, akhlak yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara. Diantara tokoh-tokoh yang terkemuka dari pendapat ini adalah Ali Abdul Raziq dan Dr. Thaha Husein.
3.     Pendapat ketiga yang menolak pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi golongan ini juga menolak anggapan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Maha Penciptanya saja. Aliran ini berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Dr. Mohammad Husein Haikal, seorang pengarang Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi (Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1993: 2).
Sejarah membuktikan, bahwa Nabi, kecuali sebagai Rasul, meminjam istilah Harun Nasution, beliau adalah kepala agama, dan juga kepala Negara. Nabi menguasai satu wilayah Yatsrib yang kemudia diganti oleh Baginda Rasul dengan nama Madinah al-Munawwarah (kota yang bersinar)sebagai wilayah kekuasaan Nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan dasar kenegaraannya (Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, 1996: 227).
Dalam praktik, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam pengurusan umat Islam yang pertama di kota Madinah, Nabi Muhammad SAW bertindak selain sebagai kepala agama (yakni Nabi), juga beliau juga bertindak sebagai kepala Negara, walaupun tidak pernah beliau menyatakan dirinya sebagai kepala Negara, seorang raja atau penguasa Negara. Tindakan beliau yang dianggap sebagai kepala Negara (pemerintahan Negara) itu ialah misalnya pernyataan peran dan perdamaian dengan pihak musuh ( kafir Quraisy) dan kafir Arab sekeliling Mekkah, hubungan surat (diplomatik) dengan Kaisar Kerajaan Romawi Heraklius, Raja Mesir Mukaukis dan Kisra Khorsu II Raja Persia, selain raja-raja Arab sendiri (Bahrain dan lainnya). Walaupun isi surat-surat Nabi Muhammad SAW itu semata-mata bernada ajakan Islam, namun dalam sejarah juga berarti hubungan di antara kepala  Negara yang satu dengan kepala Negara yang lain.
Kedudukan Nabi Muhammad SAW memimpin umat Islam dalam negaranya sendiri tampak pada amal-amal dalam kegiatan pemerintahan Negara (politik Islam), misalnya soal mengadili sengketa diantara umat (judikatif), mengatur dan mengutus pejabat ke daerah-daerah untuk keamanan umat Islam (eksekutif) dan selalu mengadakan musyawarah (legislatif) dalam membuat aturan umat, mengatur pertahanan dan keamanan serta kesejahteraan umat. Di dalam ktab Sittah, yakni 6 buah kitab kumpulan Hadits Nabi yang terkenal (antara lain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), semua orang dapat  meneliti betapa banyaknya hadits-hadits Nabi yang membicarakan hal-hal yudikatif, eksekutif, dan legislatif, hal-hal yang jelas merupakan amal-amal kenegaraan.
Setelah Nabi wafat, kedudukan  beliau sebagai kepala Negara digantikan Abu Bakar Siddik, yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh sahabat, selanjutnya disebut khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafh. Sistem khilafah ini berlangsung hingga kepemimpinan berada di bawah kekuasaan khalifah terakhir, Ali Ibnu Abi Thalib. Sistem pemerintahan selepas  Ali Ibnu Abi Thalib mengambil bentuk kerajaan, meskipun raja-raja yang menjadi para penguasa menyatakan dirinya sebagai khalifah. Di dalam sistem kerajaan, khalifah bukan dipilih secara demokratis, melainkan diangkat secara turun temurun. Sistem kerajaan ini berlangsung  hingga akhir abad ke tujub belas, saat Turki Usmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dari bangsa Eropa. Akhir abad tujuh belas hamper semua Negara Islam masuk dalam perangkap penjajahan Barat. Lamanya penjajahan di Negara  satu dengan Negara lainnya tidak sama.
Dengan semangat perjuangan yang tinggi dan rasa senasib sepenanggungan, maka pada awal abad sembilan belas, Negara-negara Islam mulai melepaskan diri satu persatu dari kolonialisme Barat yang sangat kejam. Dan dalam waktu bersamaan, muncullah nasionalisme-nasionalisme. Sistem pemerintahan bagi Negara-negara yang baru melepaskan diri dari kolonialisme berbeda-beda. Ada yang muncul mengambil bentuk kerajaan, kesultanan, dan ada yang muncul dengan bentuk cabinet presidensil atau cabinet parlementer.
Menurut Harun Nasution, Khilafah (pemerintahan) yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat kepada Republik, dalam arti kepala Negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagaimana diketahui, khalifah pertama adalah Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW. Khalifah kedua, Umar Ibnu Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan Abu Bakar, demikian pula khalifah ketiga, Utsman Ibnu Affan dan Khalifah ke empat, Ali Ibnu Abi Thalib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah. Mereka adalah sahabat Nabi, dan dengan demikian, hubungan diantara mereka merupakan hubungan persahabatan , dengan kata lain, pemilihan khalifah berdasarkan kapabilitas, kapasitas, dan kemampuan skill dan leadership dengan jalan musyawarah dan kesepakatan.
Sungguhpun demikian, Ibnu Khaldun (w. 1406 M) secara pragmatis menerima penggabungan keduanya, dalam arti ia menganggap bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem khilafah dengan sistem kerajaan. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa kekhalifahan maupun kerajaan adalah khilafah Allah di antara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan di antara manusia. Al-Mawardi (w. 1058 M) dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah mengemukakan pembahasan teoritis dan idealistis menyangkut khilafah. Menurutnya, Allah adalah penguasa yang absolute bagi alam semesta dan merupakan pokok wewenang bagi Negara. Melalui surat amanat, wewenang itu didelegasikan kepada masnusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Lembaga khilafah itu berdasarkan wahyu, yakni pernyataan-pernyataan Al Qur’an untuk pegangan Khalifah Allah, bukan semata-mata berdasarkan akal. Khalifah dicalonkan dan dipilih oleh para pemuka masyarakat, yakni ahlu al-halli wa al’aqli. Khalifah mesti mengikuti suri tauladan khalifah yang sebelumnya. Pemilihan atau penunjukan seorang khalifah mesti diikuti oleh bai’at dari masyarakat.
Idealisme moral dari teori politik tentang khilafah dibuktikan lagi secara khusus oleh kualifikasi jabatan tersebut, yaitu memiliki keadilan, punya cukup ilmu bagi penafsiran dan pelaksanaan hukum, berwatak taat, memiliki keberanian untuk memimpin perang, sehat fisik, dan turunan Quraisy, yakni suku Nabi Muhammad SAW. Dalam kedudukannya sebagai amirul mukminin, ia memimpin masyarakat dalam peperangan. Tugas khalifah yang paling utama adalah menjaga dan melaksanakan syari’ah , mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Dia adalah penguasa, pengawas dan pelindung Islam, juga pembela keimanan dan ketakwaan.
Berbeda dengan al-Mawardi, Ali Abd al-Raziq dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthoniyyah (Islam dan Ketatanegaraan) berpendapat, bahwa sistem pemerintahan tidak disinggung-singgung oleh Al Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan-ketentuan tentang corak Negara. Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai tugas kerasulana dan dalam misi beliau tidak termasuk pembentukkan Negara. Selanjutnya ia menyatakan, sistem khilafah timbul sebagai perkembangan yang seharusnya dari sejarah Islam. Nabi Muhammad SAW meninggal dunia dan dengan wafatnya beliau mestilah ada yang menggantikan beliau dalam mengurus soal umat. Dengan jalan demikianlah Abu Bakar muncul sebagai Khalifah atau pengganti beliau, dan bukan pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi. Abu Bakar sebenarnya tidak mempunyai tugas keagamaan. Beliau hanyalah kepala Negara dan bukan kepala agama. Begitu pula Umar Ibnu Khattab, Utsman Ibnu Affan dan Ali Ibnu Abi Thalib. Soal corak dan bentuk Negara bukanlah soal agama, tetapi soal duniawi dan diserahkan kepada akal manusia untuk menentukannya. OLeh karena itu tindakan Mustafa Kamal pada tahun 1924 M yang menghapuskan khilafah dari sistem kerajaan Usmani bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, dengan kata lain, tidak menyimpang dari sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Al-Sunnah.
Muhammad Rasyid Ridha memberikan reaksi keras terhadap gagasan Ali Abdul Raziq, Muhammad Rasyid Ridha merasa perlu membuat satu karya yang secara khusus membahas tentang kedudukan khilafah dalam Islam sebagai jawaban terhadap pemikiran sekuler Ali Abdul Raziq dalam sebuah buku yang populer, yaitu Al-Khilafah au al  Imamah al-Uzhma (kekhalifahan atau kepemimpinan agung). Secara garis besar, uraian dalam  buku tersebut berkisar antara lain, definisi khilafah, hukumnya mendirikan lembaga khilafah, sebagai syarat-syarat untuk dapat menduduki jabatan itu, syarat-syarat untuk menjadi ahlu al-halli wa al-aqdi dan jumlahnya, keputraan mahkota dan lain sebagainya.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, khilafah adalah system pemerintahan yang harus dipertahankan di dunia Islam untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam (jami’ah Islamiyah). Pada saat itu, buku al-Islam wa Ushul al-Hukmi, karya Ali Abdul Raziq bukan hanya dilarang beredar oleh ulama al-Azhar, bahkan Ali Abdul Raziq pun dikeluarkan dari barisan kibar al-ulama al-Azhar, Kairo, Mesir. Muhammad Rasyid Ridha sendiri menulis sebuah buku yang berjudul al-Khilafah au al-Imamat al-Uzhma, yang isinya sanggahan terhadap bahasan utama dalam karya Ali Abdul Raziq.
Kalau kita melihat perkembangan politik Islam di Negara Indonesia, paling tidak ada beberapa hal yang kita perlu pikirkan dan mengemasnya ke dalam perspektif religio politik baru tentang hubungan antara Islam dan Negara, antara lain, adalah sebagai berikut :
1.     Pertama, dalam pandangan mereka, tidak ada bukti yang tegas bahwa Al Qur’an dan Sunnah Nabi mewajibkan kaum muslimin untuk mendirikan Negara Islam. Menurut pengamatan mereka, eksperimentasi politik Nabi Muhammad tidak mengandung unsur proklamsi berdirinya sebuah Negara Islam. Karenanya mereka menolak agenda politik para pemimpin dan aktivitas politik Islam yang lebih awal, yang menuntut pembentukan sebuah Negara Islam atau Negara yang berdasarkan ideologi Islam.
2.     Kedua, mereka mengakui bahwa Islam memberi seperangkat prinsip social politik. Meskipun demikian, mereka memandang bahwa Islam bukanlah ideology. Karenanya dalam pandangan mereka, ideology Islam itu tidak ada, bahkan menurut sebagian dari mereka, ideologisasi Islam dapat dianggap sebagai mereduksi Islam.
3.     Ketiga, karena Islam dipahami sebagai agama yang kekal dan universal, maka pemahaman kaum muslimin terhadapnya tidak boleh dibatasi hanya kepada pengertian formal dan legalnya, khususnya yang di bangun dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Pemahaman itu harus didasarkan kepada penafsiran yang menyeluruh, yang menerapkan petunjuk tekstual dan doktrinalnya ke dalam situasi dan konteks kontemporernya. Sudut pandang ini pada gilirannya, meniscayakan transformasi Islam ke dalam prinsip-prinsip dan praktik-praktik kontemporer.
4.     Keempat, mereka percaya bahwa hanya Allah SWT yang mengetahui kebenaran mutlak. Dengan demikian, sebenarnya hampir tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menjangkau realitas Islam yang mutlak. Dalam penilaian mereka, pemahaman kaum muslimin terhadap doktrin-doktrin keagamaan mereka pada dasarnya bersifat relative dalam nilai, dan karenanya dapat berubah. Dengan adanya keragaman penafsiran terhadap Islam di satu sisi, dan kenyataan bahwa Islam tidak mengakui system kependetaan dalam beragama (la rahbaniyyah fi al-Islam) di sisi lain, maka tak seorang pun dapat mengklaim bahwa pemahamannya tentang Islam adalah yang paling benar dan paling otoritatif dibandingkan yang lain termasuk dalam sistem politik Islam. (Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 1998: 135). Karena itu, perlu sekali bagi kaum muslim untuk mengembangkan toleransi beragama, baik secara internal maupun eksternal termasuk tentunya dalam sistem politik Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar