KEDUDUKAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM
Sampai saat ini, umat
Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam syari’at Islam, paling
tidak dalam hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Dalam hal ini ada tiga
aliran / pendapat, yaitu :
1. Pendapat pertama yang berpendirian,
bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya
menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah agama
yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia, termasuk kehidupan bernegara. Para penganut pendapat ini pada umumnya
berpendapat bahwa (1) Islam adalah agama yang serba lengkap. Di dalamnya
terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya,
dalam bernegara umat Islam hendaknya
kembali kepada system ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu mengetahui , bahkan
jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat, (2) Sistem ketatanegaraan atau
politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al-Khulafa
‘al-Rasyidin. Tokoh-tokoh utama dari pendapat ini antaralain Syeikh Hassan
al-Banna, Sayyid Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vocal dan
agresif adalah Maulana Abul A’la al-Maududi.
2. Pendapat kedua yang berpendirian,
bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya
dengan urusan kenegaraan. Menurut pendapat ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah
seorang Rasul biasa, seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas
tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung
tinggi budi pekerti luhur, akhlakul
karimah, akhlak yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk
mendirikan dan mengepalai satu Negara. Diantara tokoh-tokoh yang terkemuka dari
pendapat ini adalah Ali Abdul Raziq dan Dr. Thaha Husein.
3. Pendapat ketiga yang menolak
pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, dan bahwa dalam
Islam terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi golongan ini juga menolak
anggapan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur
hubungan antara manusia dengan Maha Penciptanya saja. Aliran ini berpendirian,
bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat
seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh
dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Dr. Mohammad Husein
Haikal, seorang pengarang Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi (Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1993: 2).
Sejarah membuktikan,
bahwa Nabi, kecuali sebagai Rasul, meminjam istilah Harun Nasution, beliau
adalah kepala agama, dan juga kepala Negara. Nabi menguasai satu wilayah
Yatsrib yang kemudia diganti oleh Baginda Rasul dengan nama Madinah
al-Munawwarah (kota yang bersinar)sebagai wilayah kekuasaan Nabi, sekaligus
menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan dasar
kenegaraannya (Harun Nasution, Islam
Rasional, Gagasan dan Pemikiran, 1996: 227).
Dalam praktik,
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam pengurusan umat Islam yang pertama di kota
Madinah, Nabi Muhammad SAW bertindak selain sebagai kepala agama (yakni Nabi),
juga beliau juga bertindak sebagai kepala Negara, walaupun tidak pernah beliau
menyatakan dirinya sebagai kepala Negara, seorang raja atau penguasa Negara.
Tindakan beliau yang dianggap sebagai kepala Negara (pemerintahan Negara) itu
ialah misalnya pernyataan peran dan perdamaian dengan pihak musuh ( kafir
Quraisy) dan kafir Arab sekeliling Mekkah, hubungan surat (diplomatik) dengan
Kaisar Kerajaan Romawi Heraklius, Raja Mesir Mukaukis dan Kisra Khorsu II Raja
Persia, selain raja-raja Arab sendiri (Bahrain dan lainnya). Walaupun isi
surat-surat Nabi Muhammad SAW itu semata-mata bernada ajakan Islam, namun dalam
sejarah juga berarti hubungan di antara kepala
Negara yang satu dengan kepala Negara yang lain.
Kedudukan Nabi Muhammad
SAW memimpin umat Islam dalam negaranya sendiri tampak pada amal-amal dalam
kegiatan pemerintahan Negara (politik Islam), misalnya soal mengadili sengketa
diantara umat (judikatif), mengatur dan mengutus pejabat ke daerah-daerah untuk
keamanan umat Islam (eksekutif) dan selalu mengadakan musyawarah (legislatif)
dalam membuat aturan umat, mengatur pertahanan dan keamanan serta kesejahteraan
umat. Di dalam ktab Sittah, yakni 6 buah kitab kumpulan Hadits Nabi yang
terkenal (antara lain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), semua orang dapat meneliti betapa banyaknya hadits-hadits Nabi
yang membicarakan hal-hal yudikatif, eksekutif, dan legislatif, hal-hal yang
jelas merupakan amal-amal kenegaraan.
Setelah Nabi wafat,
kedudukan beliau sebagai kepala Negara
digantikan Abu Bakar Siddik, yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh
sahabat, selanjutnya disebut khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafh. Sistem khilafah ini berlangsung hingga kepemimpinan berada di bawah
kekuasaan khalifah terakhir, Ali Ibnu Abi Thalib. Sistem pemerintahan
selepas Ali Ibnu Abi Thalib mengambil
bentuk kerajaan, meskipun raja-raja yang menjadi para penguasa menyatakan
dirinya sebagai khalifah. Di dalam sistem kerajaan, khalifah bukan dipilih
secara demokratis, melainkan diangkat secara turun temurun. Sistem kerajaan ini
berlangsung hingga akhir abad ke tujub
belas, saat Turki Usmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dari bangsa Eropa.
Akhir abad tujuh belas hamper semua Negara Islam masuk dalam perangkap
penjajahan Barat. Lamanya penjajahan di Negara
satu dengan Negara lainnya tidak sama.
Dengan semangat
perjuangan yang tinggi dan rasa senasib sepenanggungan, maka pada awal abad
sembilan belas, Negara-negara Islam mulai melepaskan diri satu persatu dari
kolonialisme Barat yang sangat kejam. Dan dalam waktu bersamaan, muncullah
nasionalisme-nasionalisme. Sistem pemerintahan bagi Negara-negara yang baru
melepaskan diri dari kolonialisme berbeda-beda. Ada yang muncul mengambil
bentuk kerajaan, kesultanan, dan ada yang muncul dengan bentuk cabinet
presidensil atau cabinet parlementer.
Menurut Harun Nasution,
Khilafah (pemerintahan) yang timbul
sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi
lebih dekat kepada Republik, dalam arti kepala Negara dipilih dan tidak
mempunyai sifat turun temurun. Sebagaimana diketahui, khalifah pertama adalah
Abu Bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW.
Khalifah kedua, Umar Ibnu Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah dengan
Abu Bakar, demikian pula khalifah ketiga, Utsman Ibnu Affan dan Khalifah ke
empat, Ali Ibnu Abi Thalib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah.
Mereka adalah sahabat Nabi, dan dengan demikian, hubungan diantara mereka
merupakan hubungan persahabatan , dengan kata lain, pemilihan khalifah
berdasarkan kapabilitas, kapasitas, dan kemampuan skill dan leadership dengan
jalan musyawarah dan kesepakatan.
Sungguhpun demikian,
Ibnu Khaldun (w. 1406 M) secara pragmatis menerima penggabungan keduanya, dalam
arti ia menganggap bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem khilafah dengan sistem kerajaan.
Selanjutnya ia menyatakan, bahwa kekhalifahan maupun kerajaan adalah khilafah Allah di antara manusia bagi
pelaksanaan segala peraturan di antara manusia. Al-Mawardi (w. 1058 M) dalam
bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah mengemukakan
pembahasan teoritis dan idealistis menyangkut khilafah. Menurutnya, Allah adalah penguasa yang absolute bagi alam
semesta dan merupakan pokok wewenang bagi Negara. Melalui surat amanat,
wewenang itu didelegasikan kepada masnusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Lembaga khilafah itu berdasarkan wahyu,
yakni pernyataan-pernyataan Al Qur’an untuk pegangan Khalifah Allah, bukan
semata-mata berdasarkan akal. Khalifah dicalonkan dan dipilih oleh para pemuka
masyarakat, yakni ahlu al-halli wa
al’aqli. Khalifah mesti mengikuti suri tauladan khalifah yang sebelumnya.
Pemilihan atau penunjukan seorang khalifah mesti diikuti oleh bai’at dari
masyarakat.
Idealisme moral dari
teori politik tentang khilafah dibuktikan
lagi secara khusus oleh kualifikasi jabatan tersebut, yaitu memiliki keadilan,
punya cukup ilmu bagi penafsiran dan pelaksanaan hukum, berwatak taat, memiliki
keberanian untuk memimpin perang, sehat fisik, dan turunan Quraisy, yakni suku
Nabi Muhammad SAW. Dalam kedudukannya sebagai amirul mukminin, ia memimpin masyarakat dalam peperangan. Tugas
khalifah yang paling utama adalah menjaga dan melaksanakan syari’ah ,
mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Dia adalah penguasa, pengawas dan
pelindung Islam, juga pembela keimanan dan ketakwaan.
Berbeda dengan
al-Mawardi, Ali Abd al-Raziq dalam bukunya al-Ahkam
al-Sulthoniyyah (Islam dan Ketatanegaraan) berpendapat, bahwa sistem
pemerintahan tidak disinggung-singgung oleh Al Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan-ketentuan tentang corak
Negara. Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai tugas kerasulana dan dalam misi
beliau tidak termasuk pembentukkan Negara. Selanjutnya ia menyatakan, sistem khilafah timbul sebagai perkembangan
yang seharusnya dari sejarah Islam. Nabi Muhammad SAW meninggal dunia dan
dengan wafatnya beliau mestilah ada yang menggantikan beliau dalam mengurus
soal umat. Dengan jalan demikianlah Abu Bakar muncul sebagai Khalifah atau
pengganti beliau, dan bukan pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi. Abu Bakar
sebenarnya tidak mempunyai tugas keagamaan. Beliau hanyalah kepala Negara dan
bukan kepala agama. Begitu pula Umar Ibnu Khattab, Utsman Ibnu Affan dan Ali
Ibnu Abi Thalib. Soal corak dan bentuk Negara bukanlah soal agama, tetapi soal
duniawi dan diserahkan kepada akal manusia untuk menentukannya. OLeh karena itu
tindakan Mustafa Kamal pada tahun 1924 M yang menghapuskan khilafah dari sistem kerajaan Usmani bukanlah suatu tindakan yang
bertentangan dengan ajaran Islam, dengan kata lain, tidak menyimpang dari
sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Al-Sunnah.
Muhammad Rasyid Ridha
memberikan reaksi keras terhadap gagasan Ali Abdul Raziq, Muhammad Rasyid Ridha
merasa perlu membuat satu karya yang secara khusus membahas tentang kedudukan khilafah dalam Islam sebagai jawaban
terhadap pemikiran sekuler Ali Abdul Raziq dalam sebuah buku yang populer,
yaitu Al-Khilafah au al Imamah
al-Uzhma (kekhalifahan atau kepemimpinan agung). Secara garis besar, uraian
dalam buku tersebut berkisar antara
lain, definisi khilafah, hukumnya mendirikan lembaga khilafah, sebagai syarat-syarat untuk dapat menduduki jabatan itu,
syarat-syarat untuk menjadi ahlu al-halli
wa al-aqdi dan jumlahnya, keputraan mahkota dan lain sebagainya.
Menurut Muhammad Rasyid
Ridha, khilafah adalah system
pemerintahan yang harus dipertahankan di dunia Islam untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan umat Islam (jami’ah
Islamiyah). Pada saat itu, buku al-Islam
wa Ushul al-Hukmi, karya Ali Abdul Raziq bukan hanya dilarang beredar oleh
ulama al-Azhar, bahkan Ali Abdul Raziq pun dikeluarkan dari barisan kibar al-ulama al-Azhar, Kairo, Mesir.
Muhammad Rasyid Ridha sendiri menulis sebuah buku yang berjudul al-Khilafah au al-Imamat al-Uzhma, yang
isinya sanggahan terhadap bahasan utama dalam karya Ali Abdul Raziq.
Kalau kita melihat
perkembangan politik Islam di Negara Indonesia, paling tidak ada beberapa hal
yang kita perlu pikirkan dan mengemasnya ke dalam perspektif religio politik
baru tentang hubungan antara Islam dan Negara, antara lain, adalah sebagai
berikut :
1. Pertama, dalam pandangan mereka,
tidak ada bukti yang tegas bahwa Al Qur’an dan Sunnah Nabi mewajibkan kaum
muslimin untuk mendirikan Negara Islam. Menurut pengamatan mereka,
eksperimentasi politik Nabi Muhammad tidak mengandung unsur proklamsi
berdirinya sebuah Negara Islam. Karenanya mereka menolak agenda politik para
pemimpin dan aktivitas politik Islam yang lebih awal, yang menuntut pembentukan
sebuah Negara Islam atau Negara yang berdasarkan ideologi Islam.
2. Kedua, mereka mengakui bahwa Islam
memberi seperangkat prinsip social politik. Meskipun demikian, mereka memandang
bahwa Islam bukanlah ideology. Karenanya dalam pandangan mereka, ideology Islam
itu tidak ada, bahkan menurut sebagian dari mereka, ideologisasi Islam dapat
dianggap sebagai mereduksi Islam.
3. Ketiga, karena Islam dipahami sebagai
agama yang kekal dan universal, maka pemahaman kaum muslimin terhadapnya tidak
boleh dibatasi hanya kepada pengertian formal dan legalnya, khususnya yang di
bangun dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Pemahaman itu harus didasarkan
kepada penafsiran yang menyeluruh, yang menerapkan petunjuk tekstual dan
doktrinalnya ke dalam situasi dan konteks kontemporernya. Sudut pandang ini
pada gilirannya, meniscayakan transformasi Islam ke dalam prinsip-prinsip dan
praktik-praktik kontemporer.
4. Keempat, mereka percaya bahwa hanya
Allah SWT yang mengetahui kebenaran mutlak. Dengan demikian, sebenarnya hampir
tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menjangkau realitas Islam yang mutlak.
Dalam penilaian mereka, pemahaman kaum muslimin terhadap doktrin-doktrin
keagamaan mereka pada dasarnya bersifat relative dalam nilai, dan karenanya
dapat berubah. Dengan adanya keragaman penafsiran terhadap Islam di satu sisi,
dan kenyataan bahwa Islam tidak mengakui system kependetaan dalam beragama (la rahbaniyyah fi al-Islam) di sisi
lain, maka tak seorang pun dapat mengklaim bahwa pemahamannya tentang Islam
adalah yang paling benar dan paling otoritatif dibandingkan yang lain termasuk
dalam sistem politik Islam. (Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, 1998: 135). Karena itu, perlu sekali bagi kaum muslim untuk
mengembangkan toleransi beragama, baik secara internal maupun eksternal
termasuk tentunya dalam sistem politik Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar