Rabu, 26 Oktober 2011


KONSEP HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

Sejarah Hak Asasi Manusia
Menurut Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Baharuddin Lopa, kalimat mustahil dapat hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab. Alasan penambahan istilah bertanggung jawab ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat Kodrati). Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat berbuat semaunya, sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. (Baharuddin Lopa, 1996 : 1).

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, secara kodrati dianugrahi hak dasar yang disebut hak asasi , tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadinya, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu hak dasar melekat pada diri tiap manusia.

Dilihat dari segi sejarahnya, umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM di mulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 M di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hokum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hokum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggung jawabannya di muka hokum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hokum lagi, dan mulai bertanggung jawab kepada hokum. Sejak saat itu mulai dipraktikkan ketentuan bahwa jika raja melanggar hokum harus diadili dan harus mempertanggung jawabkan kebijakannya kepada parlemen. Dengan demikian, saat itu mulai dinyatakan bahwa raja terikat pada hokum dan bertanggung jawab pada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada saat itu lebih banyak berada di tangannya. Dengan demikian kekuasaan raja mulai dibatasi dan kondisi ini merupakan embrio bagi lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya sebagai simbol belaka. 
 
Lahirnya Magna Charta diikuti dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada saat itu mulai ada adagium yang berintikan bahwa manusia sama di muka hokum. Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya demokrasi dan negara hokum. Pada prinsipnya, Bill of Rights ini melahirkan persamaan. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau  dan Montesquieu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir pula The French Declaration, dimana hak-hak lebih dirinci, dan kemudian melahirkan The Rule of Low.
Dalam The French Declaration, antara lain disebutkan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yabg semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alas an yang syah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang syah. Di samping itu dinyatakan juga adanya Presumption of Innocence, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian dituduh dan ditahan, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dalam deklarasi ini juga dipertegas adanya Freedom of Expression, Freedom of Religion, the right of property, dan hak-hak dasar lainnya. Semua hak-hak yang ada dalam berbagai instrument HAM tersebut kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan  The Universal Declaration of Human Rights yang disyahkan oleh PBB pada 

4 komentar: