SISTEM EKONOMI ISLAM DALAM KESEJAHTERAAN UMAT
Menurut ajaran Islam,
semua kegiatan umat Islam, termasuk kegiatan sosial ekonominya harus
berlandaskan pada tauhid (Keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara
seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran
tauhid, adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian,
realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab
hal ini berarti mengingkari tauhid. Menurut ajaran Islam, hak milik mutlak
hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti bahwa, hak milik yang ada pada
manusia hanyalah hak milik nisbi atau relative. Menurut ajaran Islam, setiap
individu bisa menjadi pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam arti
yang seluas-luasnya. Manusia berhak untuk mempertukarkan hak itu dalam
batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam.
Persyaratan-persyaratan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan
kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan system keadilan dan dengan hak-hak
semua pihak yang terlibat di dalamnya. Hak milik perorangan didasarkan atas
kebebasan individu yang wajar dan kodrati, sedangkan kerjasama didasarkan atas
kebutuhan dan kepentingan bersama. Menurut ajaran Islam, manfaat dan kebutuhan
akan materi adalah untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan hanya
sekelompok manusia saja. (Ismail R. Al-Faruqi, 1982: 205).
Dalam ajaran Islam terdapat pula
prinsip utama, yaitu :
a. Tidak seorangpun ataupun sekelompok
orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain
b. Tidak ada sekelompok orangpun boleh
memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial
ekonomi dikalangan mereka saja.
Dengan demikian, seorang muslim harus
mempunyai keyakinan, bahwa perekonomian suatu kelompok, bangsa maupun individu
pada akhirnya kembali berada di tangan Allah. Jika seseorang memiliki keyakinan
yang demikian, dirinya tidak akan diperbudak oleh keduniaan.
Islam memandang umat
manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di
mata Allah dan di depan hokum yang diwahyukannya. Untuk merealisasi
kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, harus ada kerjasama dan tolong-menolong.
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat
di muka hukum tidaklah ada artinya, kalau tidak disertai dengan keadilan
ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya
terhadap masyarakat. Agar supaya tidak ada eksploitasi yang dilakukan sesorang
terhadap orang lain, maka Allah melarang umat Islam memakan hak orang lain,
sebagaimana dijelaskan dalam QS. 26 (al-Syu’ara) : 183.
Dengan kominten Islam
yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka
ketidak adilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan
tetapi, konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta
konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang
sama tanpa memandang kontribusinya dalam masyarakat (Khurshid Ahmad, 1983 :
230). Islam meberikan toleransi ketidak samaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya
dalam masyarakat. Disebutkan dalam QS. 16 (Al-Nahl) : 71.
Dalam ukuran tauhid,
seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan
penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Allah,
atau diinvestasikan kembali dalam suatu usaha yang akan mendatangkan
keuntungan, lapangan kerja dan penghasilan bagi orang lain. Sedekah sudah ada
sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Semua agama dan sistem etika
memandang amal itu sebagai suatu amal yang tinggi, dan Islam melanjutkan
tradisi tersebut (Ismail R. al-Faruqi, 1982 : 219). Banyak ayat Al Qur’an yang
mendorong manusia untuk beramal sedekah, antara lain adalah QS. 4 (Al-Nisa’) :
114. Selain sedekah dalam ajaran Islam masih ada bebrapa lembaga yang dapat
dipergunakan untuk menyalurkan harta kekayaan seseorang, yakni infak, hibah,
zakat, dan wakaf.
Dalam ajaran Islam, ada
dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan
Allah, dan hubungan manusia dengan manusia lain serta makhluk lain. Kedua
hubungan itu harus berjalan serentak. Menurut ajaran Islam, dengan melaksanakan
kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Lembaga-lembaga ekonomi Islam, zakat, infak, sedekah, hibah, dan
wakaf, dimaksudkan untuk menjembatani dan memperdekat hubungan sesame manusia,
terutama hubungan antara kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah, antara
yang kaya dan yang miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar