AKHLAQ DAN AKTUALISASINYA DALAM ISLAM
Perbaikan akhlak
merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual telah gagal
membawa manusia dalam pefungsian dirinya sebagai khalifah fi al-ard. Sejak awal seorang, Socrates telah mengingatkan
bahwa tujuan pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan
kerelaan. Tujuan nyata dari pendidikan ialah menyalurkan warisan sosial dari
suku bangsa sejenis. Berbicara masalah yang sama, lebih jauh Al-Ghazali
menyatakan, bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma
masyarakat, tetapi terhadap norma Tuhan. Al-Ghazali selanjutnya mengutarakan
bahwa tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu dari godaan
hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab),
hingga ia jernih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan. Mendidik itu
sama dengan pekerjaan peladang membuat membuang duri dan mencabut rumput yang
tumbuh diantara tanaman-tanaman agar subur tumbuhnya.
Di dalam hati yang
bersih, iman tumbuh dan berkembang. Ia menebarkan cahaya ke seluruh anggota badan lahir batin. Kalau
indikator manusia berakhlak adalah manusia yang tertanam dalam hatinya yang
iman dengan kokoh, maka tasawuf adalah upaya bagaimana kiat-kiat agar iman itu istiqamah dan tetap kokoh. Dalam sebuah
hadits yang amat popular, Nabi berkata kepada para sahabat :
“Perbaharuilah
iman kamu sekalian, perkuatlah iman kamu sekalian. Para sahabat menjawab :
Bagaimana cara kami memperbaharui iman, dan memperkuat iman ya Rasulullah?
Rasulullah menjawab yaitu dengan banyak berzikir kepada Allah “.
Tasawuf
adalah upaya spiritual bagaimana agar manusia apat memiliki akhlak al-karimah. Caranya yaitu dengan tasfiat al-qalb. Metode tasfiat al-qalb yang disepakati oleh
para sufi adalah dawam al-zikr (selalu
ingat kepada Tuhan). Zikir adalah ruh amal salih. Jika sebuah amal salih lepas dari zikir, maka laksana jasad tanpa
ruh. Mengapa zikir menjadi pola tasfiat
al-qalb yang disepakati oleh para sufi? Paling tidak ada tujuh alas an yang
dimajukan mereka secara naqli, yaitu :
a.
Perintah zikir
dalam Al Qur’an dating ada secara mutlak dalam arti tidak dibatasi dengan
pernyataan-pernyataan yang lain dan ada yang perintahnya dikaitkan dengan
batasan-batasan yang lain.
b.
Larangan berlaku
sebaliknya, yaitu lupa dan lalai dari zikir
c.
Kebahagiaan yang
akan diperoleh manusia dikaitkan dengan banyak istiqomah dalam berzikir
d.
Pujian Allah
dialamatkan kepada ahli zikir dan Allah menjanjikan bagi mereka ampunan dari
surge
e.
Informasi Allah
bahwa kerugian bagi orarng yang bersikap sebaliknya yakni tidak berzikir
f.
Allah menjadikan
zikir hamba kepada-Nya sebagai syarat zikirnya Allah kepada mereka
g.
Pertanyaan Allah
secara jelas bahwa zikir adalah perkara yang amat besar. Zikir adalah ketaatan
yang paling utama dan yang dimaksud ketaatan adalah taat secara total, yakni
melakukan zikir yang zikir itu adalah rahasia ketaatan dan ruh ketaatan. Ada
yang mengartikan, zikir lebih besar, artinya jika zikir dilakukan secara
sempurna maka hancurlah segala kesalahan dan kemaksiatan. Kebaikan akhlak bisa
jadi karena anugerah, mujahadah dan riyadhah.
Kecuali langkah
spiritual yang harus dilakukan, juga langkah lahiriah harus diupayakan. Menurut
ilmu akhlak, kebiasaan yang baik harus disempurnakan dan kebiasaan yang buruk
harus dihilangkan. Kebiasaan merupakan factor yang amat penting dalam membentuk
karakter manusia berakhlak baik. Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga orang menjadi mudah mengerjakannya. Oleh karena
itu hendaknya manusia memaksakan diri (mujahadah) untuk mengulang-ulang
perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya terbentuklah akhlak
yang baik pada dirinya. Sejak awal Nabi menganjurkan agar anak dibiasakan
melakukan kewajiban-kewajiban. Nabi bersabda :
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu
mereka berumur tujuh tahun, dan ambillah tindakan tegas pada waktu mereka
berumur sepuluh tahun, serta pisahkan mereka dari tempat tidurnya”.
Seseorang akan mudah
mengerjakan suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaannya, meskipun pada
awalnya perbuatan itu dirasakan berat. Islam menghendaki agar pemeluknya
melatih diri melakukan kewajibannya secara istiqomah,
khususnya shalat yang lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan, zakat, haji
dan lain-lain pada waktunya, sehingga semua itu menjadi kebiasaan yang mencetak
orang bersangkutan berkarakter taat terhadap perintah Allah. Demikian pula
kebiasaan berbuat baik terhadap sesama manusia (ibadah sosial) dan alam
lingkungan dalam arti luas.
Dalam akhlak,
keutamaan tidaklah cukup dengan hanya mengetahuinya, apakah keutamaan itu, tetapi harus
ditambahkan dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari
jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan (ahl al-fadl wa al-khair). Secara singkat
Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk mencapai akhlak yang baik, ada tiga cara,
yaitu: Pertama, akhlak yang merupakan
anugerah dan kasih sayang Allah, yakni orang memiliki akhlak baik secara
alamiah (bi al-thabi’ah wa al-fitrah),
sebagai sesuatu yang diberikan Allah kepadanya sejak ia dilahirkan. Kedua, dengan mujahadah (menahan diri). Ketiga,
dengan riyadhah melatih diri
secara spiritual, dan bentuk riyadhah yang
disepakati para sufi, telah dijelaskan antara lain dengan dawam al-zikr.
Upaya mengubah
kebiasaan yang buruk menurut Ahmad Amin sebagaimana yang dikutip Ishak Solih
adalah dengan hal-hal sebagai berikut:
a.
Menyadari
perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya
b.
Mencari waktu
yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat atau tekad semula
c.
Menghindarkan
diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang
d.
Berusaha untuk tetap
berada dalam keadaan yang baik
e.
Menghindarkan
diri dari kebiasaan yang buruk dan meninggalkannya dengan sekaligus
f.
Menjaga dan
memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam jiwa, yaitu penolak terhadap
perbuatan yang buruk. Perbuatan baik dipelihara dengan istiqomah, ikhlas dan jiwa tenang
g.
Memilih teman
bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali terhadap pembentukkan
watak pribadi
h.
Menyibukkan diri
dengan pekerjaan yang bermanfaat
Sementara Al-Ghazali
berpendapat, bahwa upaya mengubah akhlak yang buruk adalah dengan kesadaran
seseorang akan akhlaknya yang jelek pada dirinya. Ada empat cara untuk dapat
membantu setiap orang dalam masalah ini, yaitu :
a.
Dengan menjadi
murid seorang pembimbing spiritual (syaikh).
b.
Dengan minta
bantuan seorang teman yang tulus, taat dan punya pengertian. Teman ini diminta
untuk mengamati keadaan dan kondisi orang tersebut dengan teliti dan mengatakan
kepadanya tentang kekurangan-kekurangan yang nyata dan tersembunyi pada dirinya
c.
Dengan mengetahui
kekurangan kita dari seseorang yang tidak menyenangi kita. Orang yang tidak
senang kepada kita lebih banyak melihat kekurangan yang ada pada diri kita
ketimbang kebaikannya
d.
Dengan bergaul
bersama orang banyak dan memisalkan kekurangan yang dilihat pada orang lain
bagaikan ada pada diri kita. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keburukan jiwa
dapat dipulihkan secara permanen jika substansinya dihancurkan. Ini hanya dapat
dilaksanakan dengan menghilangkan penyebab keburukan itu. Oleh sebab itu ia
sering mengatakan bahwa penyembuhan penyakit hati tergantung pada penghalang
dan faktor penyebabnya. Carilah factor penyebabnya kemudian sembuhkan dengan
obat rohani yang tepat dan cocok. Selanjutnya ia mengatakan :
“Ketahuilah
bahwa keburukan jiwa adalah penyakitnya, dan pembersihan jiwa dari penyakit
memakai suatu obat…..Bagi tiap penyakit jiwa ada obat yang sebanding dengan
kecil besarnya penyakit itu. Pakailah obat untuk penyakit itu jika ia menimpa
kamu dengan memberikan penawar penyakit atau memotong pangkalnya”.
Akhlak
al-karimah adalah buah yang harus
didapatkan. Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana manusia dapat memperoleh
buah itu. Riyadhah adalah salah satu
cara yang di mata para sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu (akhlak al-karimah). Zikir disepakati
oleh para sufi merupakan riyadhah yang
paling besar pengaruhnya terhadap pensucian hati. Tetapi karena tasawuf itu
adalah upaya peningkatan kualitas maka pelaksanaannya tentu saja terintegrasi
dengan akidah dan syari’ah atau dengan istilah lain fiqih. Mengamalkan tasawuf
tanpa fiqih adalah kezindikan,
sebaliknya berfiqih tanpa tasawuf adalah kemampuan spiritual yang didapatkan.
Memadukan antara fiqih dan tasawuf adalah pencapaian hakikat kebenaran.
Tasawuf
perlu di bedah secara naqli dan ‘aqli , agar mahasiswa tahu bahwa bagaimana
ber-Islam secara kaffah, secara ilmu dan amal. Islam kaffah adalah secara ilmu
Islam dipahami lahir batinnya, dan secara amal diaktualisasikan lahir dan
batinnya. Kata Ibnu ‘Arabi ilmu adalah imam bagi amal. Maka pengetahuan yang
benar dan agak mendalam tentang tasawuf akan melahirkan mahasiswa yang memahami
Islam dan berusaha secara sungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupan ritual
dan sosialnya. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana pengimplementasian
akhlak dan tasawuf dalam pembelajarannya. Secara singkat dapat dikemukakan :
a.
Dengan penjelasan
yang komprehensif tentang kedudukan tasawuf dalam Islam. Sejak lama Islam yang
kita ajarkan kepada anak didik adalah Islam fiqih. Islam fiqih cenderung
menggiring mahasiswa bersikap formalistik dalam pengalaman agama. Islam fiqih
kering dari makna dan ruh ajaran. Padahal Nabi secara jelas menyatakan Al
Qur’an harus dipahami lahir dan batinnya. Lahir ayat melahirkan fiqih, batin
ayat melahirkan ajaran tasawuf. Tasawuf adalah bagian integral dari ajaran
Islam, memisahkan tasawuf dari ajaran Islam sama artinya dengan menghilangkan
substansi ajaran Islam itu sendiri. Ayat-ayat Al Qur’an sebagaimana telah
dijelaskan bukan hanya mengangkat ayat tentang tasawuf, malah ayat yang
berbicara hukum sekalipun selalu dikaitkan dengan substansi ajaran tasawuf.
b.
Dengan memberikan
contoh dan teladan. Memberikan contoh dalam pengalaman fiqih dan tasawuf
sekaligus memberikan teladan bagaimana sikap berakhlak yang baik dalam
kehidupan sehari-hari.
c.
Dosen PAI harus
menjadi teladan dan dapat dibanggakan oleh mahasiswanya dalam segala aspek
kehidupannya. Jangan mahasiswa kehilangan panutan di kampus atau atau
menjadikan nilai-nilai yang tidak berasaskan Al Qur’an dan Al-Sunnah sebagai
pedoman dalam hidupnya. Yang lain-lainnya dapat dilakukan oleh Dosen PAI,
semisal pembiasaan, tentunya pembiasaan perilaku-perilaku yang baik, menegakkan
disiplin, memberi motivasi atau dorongan, memberikan hadiah terutama yang
bersifat psikologis, menghukum (kalau perlu), dalam rangka pendisiplinan dan
yang harus diupayakan oleh institusi dan lingkungan adalah penciptaan suasana
yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif berakhlak al-karimah.
Secara substansial,
akhlak, etika dan moral adalah sama, yaitu ajaran tentang baik dan buruk
berkaitan dengan sikap hidup manusia. Yang membedakan satu dengan yang lainnya
adalah sumber kebenarannya. Akhlak bersumberkan Al Qur’an dan Al-Sunnah,
sementara etika bersumberkan akal karena Ia bagian dari filsafat, sedangkan
moral bersumberkan adat istiadat (tradisi) yang berlaku di masyarakat. Etika
lebih bersifat teoritis, moral bersikap praktis, etika bersifat umum, sedangkan
moral lebih bersikap lokal dan khusus. Akhlak bersifat universal dan
komprehensif, mencakup aspek lahir dan batin.
Dari satu segi akhlak adalah buah dari tasawuf
(proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlak pun merupakan
usaha manusia secara lahiriah, yaitu melalui ilmu dan amal, mujahadah dan riyadhah. Implementasi akhlak dan tasawuf, bahwa secara keilmuan
tasawuf harus dibedah sehingga jelas substansi kajiannya dan sekaligus
posisinya dalam ajaran Islam. Cara lain, keteladanan merupakan usaha yang sulit
tetapi amat menentukan, memberi motivasi dan memberi hadiah atau sebaliknya
menghukum secara psikologis dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya
penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak untuk tumbuhnya sikap akhlak yang
positif di kampus masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar