DEMOKRASI DALAM ISLAM
Demokrasi artinya
pemerintahan rakyat, maksudnya adalah perwakilan rakyat yang mendampingi
Presiden, Raja atau Perdana Menteri memerintah negara. Dan perwakilan rakyat
itu di pilih bila lima tahun atau empat tahun sekali, dipilih dengan
syarat-syarat yang menggambarkan bahwa selain mereka memang mewakili para
pemilihnya (rakyat yang menjadi warga Negara), juga merupakan orang yang cukup berilmu
untuk turut memerintah Negara. Bersama-sama dengan presiden dan Wakil Presiden
serta Dewan Menteri, merekalah yang dimaksud para ulil amri seperti disebut di dalam Al Qur’an surat 4 ayat 59 itu.
Dengan demikian, mereka itu wajib dipenuhi amarnya (dalam hal ini undang-undang
yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dijalankan oleh Presiden, Dewan
Menteri dan Mahkamah Agung). (Hasbullah Bakry, pedoman Islam di Indonesia, 1988 : 325).
Esensi demokrasi,
terlepas dari definisi dan istilah akademis, ialah masyarakat memilih seseorang
untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pemimpinnya bukan orang yang mereka
benci, peraturannya bukan yang tidak mereka kehendaki, mereka berhak meminta
pertanggung jawaban penguasa apabila pemimpin tersebut salah, dan berhak
memecatnya bila menyeleweng. Mereka juga tidak boleh dibawa kepada arah dan
sistem ekonomi, sosial, kebudayaan atau sistm politik yang tidak mereka kenal
dan tidak mereka sukai. Demikianlah esensi demokrasi yang sebenarnya dengan
berbagai macam bentuk dan system yang dipraktikkan manusia, seperti pemilihan
umum dan referendum, penetapan sesuatu berdasarkan suara terbanyak,
berbilangnya partai politik, dijaminnya hak golongan minoritas untuk
menyampaikan suaranya, kebebasan pers, kemandirian peradilan , penegakan hukum
dan sebagainya. (Yusuf Qardhawi, 1996: 918).
Demokrasi dalam proses
perorangan di masyarakat, yang terjadi hanya karena kebutuhan-kebutuhan yang
sifatnya teknis dan individual, tidak bisa dijadikan tolak ukur, walaupun dia
sendiri kerja demokratis dan bersikap serta bersifat demokratis. Tolok ukur
yang digunakan haruslah, apakah Negara menjamin dan melaksanakan pemberian
jaminan-jaminan dasar atau hak asasi manusia. Dalam hal ini, Islam mengenal
beberapa jaminan dasar, antara lain: (1) jaminan akan keselamatan fisik
seseorang, jadi tidak boleh dikenakan sanksi badani, tanpa ada prosedur hukum
yang jelas, atau proses pengadilan , (2)jaminan dasar akan keselamatan
keyakinan agama (fi salamatil aqidah),
(3) jaminan dasar yang menyangkut jaminan dasar keutuhan rumah tangga. Sebab
kalau tanpa jaminan dasar, maka dengan mudah rumah tangga itu akan hancur dari
dalam atau dihancurkan dari luar. (M. Masyhur Amin dan Mohammad Nadjib, 1993:
97).
Sepanjang sejarah
kerajaan Islam , posisi ulil amri ini
selalu tidak sama, sesuai dengan situasi dan kondisi para ulil amri itu. Suatu ketika khalifah, sultan atau raja terlalu kuat
sehingga praktis yang ada bukan ulil
amri (plural) tetapi seorang waliyul amri yang dictator. Tetapi suatu
ketika Waliyul Amri itu begitu
lemahnya sehingga selalu timbul semacam perebutan kekuasaan diantara para ulil amri itu untuk bergiliran ingin menjadi waliyul amri yang dictator itu. Tentu
saja Negara (kerajaan) menjadi sangat lemah karena kondisi tersebut. Contoh
situasi seperti itu ialah di masa terakhir kekhilafahan Bani Abbas sebelum
dihancurkan oleh Hulagu Khan di Medio Abad XIII (1258 M). Adapun contoh situasi
seorang waliyul amri yang sangat
berkuasa itu ialah di masa puncak kejayaan Khalifah Bani Usman (Ottoman Empire)
yang berpusat di Istambul dan dilambangkan oleh dua khalifahnya yang sangat
disegani di Eropa, yaitu Sultan Muhammad al-Fatih yang memrintah tahun 1451
hingga 1481 M dan Sultan Sulaiman Agung yang memerintah Turki selama 46 tahun
(1520 -1566 M).
Ketika despotisme (bersikap berkuasa sendiri)
dijalankan berdasarkan sistem monarkhi di dunia, para penguasa Turki dan dunia
Islam masih memperhatikan demokrasi yang diwakili oleh para ulama yang diketuai
Syikul Islam atau Mufti Basar atau Penghulu Besar Kerajaan untuk diminta
nasehatnya, apakah kebijaksanaan (policy) raja (sultan) sesuai dengan ajaran
Islam atau tidak. Apabila para ulama yang diwakili syaikul Islam (Mufti Basar)
itu ternyata menyalahgunakan kedudukannya untuk menjilat raja, maka merekalah
yang salah, sehungga ketika Eropa dilanda demokratisasi parlementer dan
menumbangkan despotism raja, maka di
dunia Islam gerakan demokratisasi itu juga menghapus peranan Syaikul Islam dan
Mufti Besar serta dewan ulamanya semua. Di ujung nasib, khalifah Bani Usman
(Ottoman Empire) Kemal Attaturk memproklamirkan Republik Turki dan membentuk
parlemennya yang pertama yaitu Grand
National Assembly tahun 1923. Begitu juga Mesir, setelah merdeka dari Turki
dan pemerintahan Inggris pada tahun 1922, membentuk parlemen hasil pemilihan
umum yang dimenangkan kaum Nasionalis Wafd.
Demokrasi juga dimulai
pada pemerintahan kerajaan Iran terutama setelah kerajaan dikuasai oleh Syah
Reza yang memerintah sejak 1925 hingga 1941. Walaupun demokrasi belum bebas
benar pada mejelis, namun segala kebijaksanaan Syah menghapus tradisi (dengan
nama) Islam selalu melalui persetujuan majelis, seperti menghapuskan bantuan
wakaf dan infak yang tidak pada tempatnya pada kaum Derwi, menghapuskan burdah
bagi wanita, dan memodernkan administrasi Negara.
Pada periode berikutnya
di Indonesia, setelah Republik Indonesia diproklamasikan oleh para founding father kita (17 Agustus 1945)
segera pula disusul dengan Lembaga Parlemen yang disebut Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNPI), Indonesia berusaha menunjukkan pada dunia, bahwa Negara
REpublik Indonesia akan memerintah secara demokratis. Kemudian disusul oleh
Pemilihan Umum pada tahun 1955, 1971,1982,dan seterusnya, semuanya menunjukkan
bahwa Negara Indonesia akan diperintah secara demokratis. Persoalannya sekarang
apakah semua yang terjadi di Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini
salah satu atau bertentangan dengan Islam atau tidak. Jawabannya tidak, karena
ada dalil yang kuat, yaitu nash Al Qur’an dalam QS. 4 (al-Nisa’): 59.
Umat Islam mempunyai
kebebasan untuk memilih mana cara yang terbaik bagi situasi dan kondisi mereka
untuk memerintah Negara mereka. Bukan saja mereka bebas memilih siapa diantara
pemimpin mereka untuk dianggap sebagai ulil
amri mereka, juga mereka bebas menentukan berapa tahun sekali mereka
mengadakan pemilihan umum untuk memilih ulil
amri itu. Dengan demikian, apa yang telah dilaksanakan oleh Republik
Indonesia selama kemerdekaannya dapat dibenarkan oleh ajaran Islam. Begitu juga
apabila suatu waktu cara pemilihan umum itu diubah demi seleksi pemimpin yang
lebih baik, misalnya pemilihan umum melalui distrik atau langsung, seperti yang
sekarang dilaksanakan di semua Negara bekas jajahan Inggris, ajaran Islam tidak
perlu dianggap penentangnya. Sekarang para sarjana kita belum terlalu banyak
hingga syarat menjadi anggota parlemen cukup sekolah menengah. Apabila jumlah
sarjana sudah amat banyak, bisa saja suatu ketika untuk dicalonkan menjadi
anggota parlemen disyaratkan seorang sarjana. Perwakilan rakyat pada
pemerintahan pusat itu berlaku juga untuk pemerintahan daerah. Seorang Gubernur
hendaknya didampingi oleh sebuah perwakilan rakyat daerah tingkat satu dan seorang
Bupati hendaknya didampingi oleh sebuah perwakilan rakyat daerah tingkat dua,
dan majelis perwakilan itu disebut dewan atau majelis.
Suatu hal yang selalu
dibicarakan dalam fiqih Islam selama ini ialah soal cara pemilihan kepala
Negara dan syarat-syarat untuk di pilih menjadi kepala Negara menurut tradisi
Islam. Ada banyak teori tentang pemilihan kepala Negara itu. Kepala Negara itu
sendiri sebutannya ada bermacam-macam, misalnya Khalifah, Imam, Amir, Sultan
dan Syah atau Syahinsyah. Al-Farabi dalam bukunya “Aarau Ahlil Madinatul Fadilah” menyebutkan, seseorang yang akan
dipilih menjadi kepala Negara itu hendaklah orang terbaik dari rakyat semua.
Banyak dari ulama Islam menyebutkan, syaratnya menurut hadits Nabi yang
nilainya tidak kuat, bahwa calon kepala Negara hendaklah keturunan Quraisy,
sedang menurut para ulama Syi’ah kepala Negara (imam) iu haruslah seorang
keturunan Nabi (kaum ‘Alawi).
Sebagian kitab fiqih tidak mensyaratkan keturunan, tetapi mensyaratkan
kecakapan, kemampuan dan akhlak, serta integritas kepala Negara itu. Diantara
syarat-syarat yang disebutkan adalah
sebagai berikut : (1) mengetahui hukum-hukum Allah (maksudnya al-faqih),
(2) sudah diketahui bahwa I a bersifat adil dn jujur dalam pekerjaannya selama
ini, (3) kifayah dalam arti bertanggung jawab atas tugasnya (maksudnya bukan
santai saja tanpa kesungguhan), (4) Sehat, sejahtera panca indranya, tidak buta
dan tuli dan tidak pula kaku lidahnya dan kurang akalnya. (Hasbullah Bakry,
1988: 331).
Islam telah menetapkan
syura (permusyawaratan) sebagai salah satu kaidah dari kaidah-kaidah kehidupan,
dan mewajibkan umat untuk memberikan kesetiaan, sehingga Islam sebagai agama,
menjadikan kesetiaan secara keseluruhan, diantaranya adalah kesetiaan kepada
para imam kaum muslim, yakni pemimpin dan pemerintah mereka. Islam juga
menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai kewajiban yang tetap, bahkan
menetapkan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan perkataan yang
benar kepada penguasa yang zalim, artinya Islam menetapkan bahwa memerangi
kesewenang-wenangan dan kerusakn di dalam tubuh pemerintahan Islam sendiri
lebih utama di sisi Allah dari pada memerangi musuh dari luar. Sebab
kesewenang-wenangan (otoriter) dan kerusakan dari dalam merupakan penyebab
munculnya serangan musuh dari luar.
Pemimpin atau penguasa
menurut pandangan Islam merupakan wakil umat atau pelayan umat, maka diantara
hak yang mendasar bagi umat ialah mengoreksi sang wakil dan melepas atau
menarik wewenang perwakilannya jika mereka menghendaki. Lebih-lebih jika
penguasa menyelewengkan wewenangnya dan mengabaikan kewajibannya. Penguasa atau
hakim menurut pandangan Islam bukanlah manusia yang maksum (luput dari
kesalahan dan dosa), tetapi ia adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa
salah, bisa berbuat adil dan bisa berbuat zalim. Maka diantara kewajiban
masyarakat Islam ialah membetulkannya jika salah dan keliru.
Hal yang perlu dicatat,
bahwa Islam telah mendahului faham demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah
yang menjadi penopang esensi dan substansi demokrasi. Namun demikian, Islam
menyerahkan perincian dan penjabarannya kepada ijtihad kaum muslim sesuai
prinsip-prinsip ad-Din dan kemaslahatan dunia mereka, sesuai perkembangan
kehidupan mereka, sesuai masa dan tempatnya, serta sesuai dengan perkembangan
situasi dan kondisi manusia. Keistimewaan demokrasi ialah bahwa sistem ini di
celah-celah perjuangannya yang panjang menghadapi para penguasa, raja, dan
pemerintahan yang zalim, dapat mengambil berbagai bentuk dan wasilah yang
hingga kini dianggap paling efektif untuk melindungi rakyat dari
kesewenang-wenangan penguasa. Selain itu, tidak ada halangan bagi para pemikir
dan pemimpin untuk memikirkan bentuk dan system yang memiliki corak dan model
yang lebih pas serta lebih ideal. Namun harus tetap di ingat, bahwa untuk
merealisasikan hal itu dalam kehidupan manusia, kita harus mempertahankan
sebagian system demokrasi yang tidak dapat diabaikan guna mewujudkan keadilan,
musyawarah, menghormati hak-hak manusia,dan berjuang menghadapi kesewenang-wenangan para diktator yang
sombong di muka bumi. (Yusuf Qardhawi, 1996: 926).
Tidak ada larangan dalam
syara’ untuk mengutip ide tau teori dan praktik dari kalangan non muslim,
karena Nabi Muhammad SAW sendiri pada waktu perang Ahzab telah mengambil
gagasan “Menggali Parit” dalam sebuah peperangan, sebagai suatu uslub , cara teknik yang biasa dipakai orang
Persia. Beliau juga memanfaatkan tawanan-tawanan musyrikin dalam perang Badar “
yang mengerti baca tulis” untuk mengajar tulis menulis kepada anak-anak kaum
muslim. Meskipun mereka musyrik, karena hikmah (ilmu pengetahuan) itu adalah
milik orang mukmin yang hilang, maka dimana saja dia mendapatinya dia lebih
berhak terhadapnya. Dengan kata lain, mengutip ide, pendapat, sistem, dan
peraturan-peraturan dari orang lain yang bermanfaat bagi kita, asalkan tidak
bertentangan dengan nash yang tegas dan kaidah syari’ah yang baku, disamping
itu kita juga harus bersikap kritis dan selektif terhadap yang kita ambil
dengan semangat ruh kita, mana yang merupakan bagian dari kita yang telah
hilang sejak lama tersebut, dibenarkan untuk di ambil kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar