Rabu, 12 Oktober 2011


DEMOKRASI DALAM ISLAM

Demokrasi artinya pemerintahan rakyat, maksudnya adalah perwakilan rakyat yang mendampingi Presiden, Raja atau Perdana Menteri memerintah negara. Dan perwakilan rakyat itu di pilih bila lima tahun atau empat tahun sekali, dipilih dengan syarat-syarat yang menggambarkan bahwa selain mereka memang mewakili para pemilihnya (rakyat yang menjadi warga Negara), juga merupakan orang yang cukup berilmu untuk turut memerintah Negara. Bersama-sama dengan presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Menteri, merekalah yang dimaksud para ulil amri seperti disebut di dalam Al Qur’an surat 4 ayat 59 itu. Dengan demikian, mereka itu wajib dipenuhi amarnya (dalam hal ini undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dijalankan oleh Presiden, Dewan Menteri dan Mahkamah Agung). (Hasbullah Bakry, pedoman Islam di Indonesia, 1988 : 325).
Esensi demokrasi, terlepas dari definisi dan istilah akademis, ialah masyarakat memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pemimpinnya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak mereka kehendaki, mereka berhak meminta pertanggung jawaban penguasa apabila pemimpin tersebut salah, dan berhak memecatnya bila menyeleweng. Mereka juga tidak boleh dibawa kepada arah dan sistem ekonomi, sosial, kebudayaan atau sistm politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Demikianlah esensi demokrasi yang sebenarnya dengan berbagai macam bentuk dan system yang dipraktikkan manusia, seperti pemilihan umum dan referendum, penetapan sesuatu berdasarkan suara terbanyak, berbilangnya partai politik, dijaminnya hak golongan minoritas untuk menyampaikan suaranya, kebebasan pers, kemandirian peradilan , penegakan hukum dan sebagainya. (Yusuf Qardhawi, 1996: 918).
Demokrasi dalam proses perorangan di masyarakat, yang terjadi hanya karena kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya teknis dan individual, tidak bisa dijadikan tolak ukur, walaupun dia sendiri kerja demokratis dan bersikap serta bersifat demokratis. Tolok ukur yang digunakan haruslah, apakah Negara menjamin dan melaksanakan pemberian jaminan-jaminan dasar atau hak asasi manusia. Dalam hal ini, Islam mengenal beberapa jaminan dasar, antara lain: (1) jaminan akan keselamatan fisik seseorang, jadi tidak boleh dikenakan sanksi badani, tanpa ada prosedur hukum yang jelas, atau proses pengadilan , (2)jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama (fi salamatil aqidah), (3) jaminan dasar yang menyangkut jaminan dasar keutuhan rumah tangga. Sebab kalau tanpa jaminan dasar, maka dengan mudah rumah tangga itu akan hancur dari dalam atau dihancurkan dari luar. (M. Masyhur Amin dan Mohammad Nadjib, 1993: 97).
Sepanjang sejarah kerajaan Islam , posisi ulil amri ini selalu tidak sama, sesuai dengan situasi dan kondisi para ulil amri itu. Suatu ketika khalifah, sultan atau raja terlalu kuat sehingga praktis yang ada bukan ulil amri  (plural) tetapi seorang waliyul amri yang dictator. Tetapi suatu ketika Waliyul Amri itu begitu lemahnya sehingga selalu timbul semacam perebutan kekuasaan diantara para ulil amri  itu untuk bergiliran ingin menjadi waliyul amri yang dictator itu. Tentu saja Negara (kerajaan) menjadi sangat lemah karena kondisi tersebut. Contoh situasi seperti itu ialah di masa terakhir kekhilafahan Bani Abbas sebelum dihancurkan oleh Hulagu Khan di Medio Abad XIII (1258 M). Adapun contoh situasi seorang waliyul amri yang sangat berkuasa itu ialah di masa puncak kejayaan Khalifah Bani Usman (Ottoman Empire) yang berpusat di Istambul dan dilambangkan oleh dua khalifahnya yang sangat disegani di Eropa, yaitu Sultan Muhammad al-Fatih yang memrintah tahun 1451 hingga 1481 M dan Sultan Sulaiman Agung yang memerintah Turki selama 46 tahun (1520 -1566 M).
Ketika despotisme (bersikap berkuasa sendiri) dijalankan berdasarkan sistem monarkhi di dunia, para penguasa Turki dan dunia Islam masih memperhatikan demokrasi yang diwakili oleh para ulama yang diketuai Syikul Islam atau Mufti Basar atau Penghulu Besar Kerajaan untuk diminta nasehatnya, apakah kebijaksanaan (policy) raja (sultan) sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Apabila para ulama yang diwakili syaikul Islam (Mufti Basar) itu ternyata menyalahgunakan kedudukannya untuk menjilat raja, maka merekalah yang salah, sehungga ketika Eropa dilanda demokratisasi parlementer dan menumbangkan despotism raja, maka di dunia Islam gerakan demokratisasi itu juga menghapus peranan Syaikul Islam dan Mufti Besar serta dewan ulamanya semua. Di ujung nasib, khalifah Bani Usman (Ottoman Empire) Kemal Attaturk memproklamirkan Republik Turki dan membentuk parlemennya yang pertama yaitu Grand National Assembly tahun 1923. Begitu juga Mesir, setelah merdeka dari Turki dan pemerintahan Inggris pada tahun 1922, membentuk parlemen hasil pemilihan umum yang dimenangkan kaum Nasionalis Wafd.
Demokrasi juga dimulai pada pemerintahan kerajaan Iran terutama setelah kerajaan dikuasai oleh Syah Reza yang memerintah sejak 1925 hingga 1941. Walaupun demokrasi belum bebas benar pada mejelis, namun segala kebijaksanaan Syah menghapus tradisi (dengan nama) Islam selalu melalui persetujuan majelis, seperti menghapuskan bantuan wakaf dan infak yang tidak pada tempatnya pada kaum Derwi, menghapuskan burdah bagi wanita, dan memodernkan administrasi Negara.
Pada periode berikutnya di Indonesia, setelah Republik Indonesia diproklamasikan oleh para founding father kita (17 Agustus 1945) segera pula disusul dengan Lembaga Parlemen yang disebut Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), Indonesia berusaha menunjukkan pada dunia, bahwa Negara REpublik Indonesia akan memerintah secara demokratis. Kemudian disusul oleh Pemilihan Umum pada tahun 1955, 1971,1982,dan seterusnya, semuanya menunjukkan bahwa Negara Indonesia akan diperintah secara demokratis. Persoalannya sekarang apakah semua yang terjadi di Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini salah satu atau bertentangan dengan Islam atau tidak. Jawabannya tidak, karena ada dalil yang kuat, yaitu nash Al Qur’an dalam QS. 4 (al-Nisa’): 59.
Umat Islam mempunyai kebebasan untuk memilih mana cara yang terbaik bagi situasi dan kondisi mereka untuk memerintah Negara mereka. Bukan saja mereka bebas memilih siapa diantara pemimpin mereka untuk dianggap sebagai ulil amri mereka, juga mereka bebas menentukan berapa tahun sekali mereka mengadakan pemilihan umum untuk memilih ulil amri itu. Dengan demikian, apa yang telah dilaksanakan oleh Republik Indonesia selama kemerdekaannya dapat dibenarkan oleh ajaran Islam. Begitu juga apabila suatu waktu cara pemilihan umum itu diubah demi seleksi pemimpin yang lebih baik, misalnya pemilihan umum melalui distrik atau langsung, seperti yang sekarang dilaksanakan di semua Negara bekas jajahan Inggris, ajaran Islam tidak perlu dianggap penentangnya. Sekarang para sarjana kita belum terlalu banyak hingga syarat menjadi anggota parlemen cukup sekolah menengah. Apabila jumlah sarjana sudah amat banyak, bisa saja suatu ketika untuk dicalonkan menjadi anggota parlemen disyaratkan seorang sarjana. Perwakilan rakyat pada pemerintahan pusat itu berlaku juga untuk pemerintahan daerah. Seorang Gubernur hendaknya didampingi oleh sebuah perwakilan rakyat daerah tingkat satu dan seorang Bupati hendaknya didampingi oleh sebuah perwakilan rakyat daerah tingkat dua, dan majelis perwakilan itu disebut dewan atau majelis.
Suatu hal yang selalu dibicarakan dalam fiqih Islam selama ini ialah soal cara pemilihan kepala Negara dan syarat-syarat untuk di pilih menjadi kepala Negara menurut tradisi Islam. Ada banyak teori tentang pemilihan kepala Negara itu. Kepala Negara itu sendiri sebutannya ada bermacam-macam, misalnya Khalifah, Imam, Amir, Sultan dan Syah atau Syahinsyah. Al-Farabi dalam bukunya “Aarau Ahlil Madinatul Fadilah” menyebutkan, seseorang yang akan dipilih menjadi kepala Negara itu hendaklah orang terbaik dari rakyat semua. Banyak dari ulama Islam menyebutkan, syaratnya menurut hadits Nabi yang nilainya tidak kuat, bahwa calon kepala Negara hendaklah keturunan Quraisy, sedang menurut para ulama Syi’ah kepala Negara (imam) iu haruslah seorang keturunan Nabi (kaum ‘Alawi). Sebagian kitab fiqih tidak mensyaratkan keturunan, tetapi mensyaratkan kecakapan, kemampuan dan akhlak, serta integritas kepala Negara itu. Diantara syarat-syarat yang disebutkan adalah  sebagai berikut : (1) mengetahui hukum-hukum Allah (maksudnya al-faqih), (2) sudah diketahui bahwa I a bersifat adil dn jujur dalam pekerjaannya selama ini, (3) kifayah dalam arti bertanggung jawab atas tugasnya (maksudnya bukan santai saja tanpa kesungguhan), (4) Sehat, sejahtera panca indranya, tidak buta dan tuli dan tidak pula kaku lidahnya dan kurang akalnya. (Hasbullah Bakry, 1988: 331).
Islam telah menetapkan syura (permusyawaratan) sebagai salah satu kaidah dari kaidah-kaidah kehidupan, dan mewajibkan umat untuk memberikan kesetiaan, sehingga Islam sebagai agama, menjadikan kesetiaan secara keseluruhan, diantaranya adalah kesetiaan kepada para imam kaum muslim, yakni pemimpin dan pemerintah mereka. Islam juga menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai kewajiban yang tetap, bahkan menetapkan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan perkataan yang benar kepada penguasa yang zalim, artinya Islam menetapkan bahwa memerangi kesewenang-wenangan dan kerusakn di dalam tubuh pemerintahan Islam sendiri lebih utama di sisi Allah dari pada memerangi musuh dari luar. Sebab kesewenang-wenangan (otoriter) dan kerusakan dari dalam merupakan penyebab munculnya serangan musuh dari luar.
Pemimpin atau penguasa menurut pandangan Islam merupakan wakil umat atau pelayan umat, maka diantara hak yang mendasar bagi umat ialah mengoreksi sang wakil dan melepas atau menarik wewenang perwakilannya jika mereka menghendaki. Lebih-lebih jika penguasa menyelewengkan wewenangnya dan mengabaikan kewajibannya. Penguasa atau hakim menurut pandangan Islam bukanlah manusia yang maksum (luput dari kesalahan dan dosa), tetapi ia adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah, bisa berbuat adil dan bisa berbuat zalim. Maka diantara kewajiban masyarakat Islam ialah membetulkannya jika salah dan keliru.
Hal yang perlu dicatat, bahwa Islam telah mendahului faham demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi penopang esensi dan substansi demokrasi. Namun demikian, Islam menyerahkan perincian dan penjabarannya kepada ijtihad kaum muslim sesuai prinsip-prinsip ad-Din dan kemaslahatan dunia mereka, sesuai perkembangan kehidupan mereka, sesuai masa dan tempatnya, serta sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi manusia. Keistimewaan demokrasi ialah bahwa sistem ini di celah-celah perjuangannya yang panjang menghadapi para penguasa, raja, dan pemerintahan yang zalim, dapat mengambil berbagai bentuk dan wasilah yang hingga kini dianggap paling efektif untuk melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Selain itu, tidak ada halangan bagi para pemikir dan pemimpin untuk memikirkan bentuk dan system yang memiliki corak dan model yang lebih pas serta lebih ideal. Namun harus tetap di ingat, bahwa untuk merealisasikan hal itu dalam kehidupan manusia, kita harus mempertahankan sebagian system demokrasi yang tidak dapat diabaikan guna mewujudkan keadilan, musyawarah, menghormati hak-hak manusia,dan berjuang menghadapi  kesewenang-wenangan para diktator yang sombong di muka bumi. (Yusuf Qardhawi, 1996: 926).
Tidak ada larangan dalam syara’ untuk mengutip ide tau teori dan praktik dari kalangan non muslim, karena Nabi Muhammad SAW sendiri pada waktu perang Ahzab telah mengambil gagasan “Menggali Parit” dalam sebuah peperangan, sebagai suatu uslub , cara teknik yang biasa dipakai orang Persia. Beliau juga memanfaatkan tawanan-tawanan musyrikin dalam perang Badar “ yang mengerti baca tulis” untuk mengajar tulis menulis kepada anak-anak kaum muslim. Meskipun mereka musyrik, karena hikmah (ilmu pengetahuan) itu adalah milik orang mukmin yang hilang, maka dimana saja dia mendapatinya dia lebih berhak terhadapnya. Dengan kata lain, mengutip ide, pendapat, sistem, dan peraturan-peraturan dari orang lain yang bermanfaat bagi kita, asalkan tidak bertentangan dengan nash yang tegas dan kaidah syari’ah yang baku, disamping itu kita juga harus bersikap kritis dan selektif terhadap yang kita ambil dengan semangat ruh kita, mana yang merupakan bagian dari kita yang telah hilang sejak lama tersebut, dibenarkan untuk di ambil kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar